Jumat, 30 September 2011

Kesuksesan Lembaga Pengkaderan

Sebuah keniscayaan apabila ada orang yang bertanya ”apa sih standar kesuksesan lembaga pengkaderan?”. Sangat mudah dijawab, tetapi sulit dibuktikan, yaitu apabila para kadernya tetap berpegang pada apa saja yang diberikan (dikaderkan) dalam kondisi apapun dan menjadi apapun.
Secara garis besar, lembaga pengkaderan dibagi menjadi dua katogori. Pertama, lembaga pengkaderan yang mempunyai tujuan tertentu (kongkrit). Sehingga lembaga pengkaderan tersebut menjadi pengantar seseorang untuk menjadi apa yang dikaderkan. Sebagaimana kader yang berada di partai politik yang dididik untuk menjadi politikus pengganti para seniornya.
Kedua, lembaga pengkaderan yang mempunyai tujuan memberikan penggalian potensi diri sesuai apa yang dikaderkan. Dalam hal ini, lembaga pengkaderan hanya membekali kader, untuk selanjutnya kader tersebut dapat memilih tujuan sendiri sesuai keinginannya. Selama kader tersebut masih berpegang kepada apa yang dikaderkan, maka lembaga tersebut dianggap berhasil, sehingga bisa dikatakan standar nilai keberhasilannya abstrak.
Sebuah ukuran keberhasilan lembaga pengkaderan, tentunya berbeda dengan lembaga organisasi yang memepunyai tujuan dan pekerjaan tertentu. Dalam lembaga organisasi ada tujuan yang harus dicapai, atau minimal mempunyai tanggung jawab pekerjaan yang harus dilakukan lembaga organisasi tersebut. Maka, seorang yang berada pada lembaga organisasi menjadi pelaksana atas tujuan yang harus dicapai lembaga organisasi .
Adapun lembaga pengkaderan sebaliknya, dimana lembaga yang bekerja untuk orang yang berada didalamnya. Oleh sebab yang menjadi objek tujuan adalah orangnya, maka hasil yang didapatkan akan sangat abstrak dan berfariasi, yaitu tergantung peran orang-orang yang mengatasnamakan lembaga pengkaderan tersebut dan sebaliknya. Sehingga sulit untuk menentukan standar keberhasilan apabila yang menjadi tujuannya bersifat abstrak (bersifat potensi dan moralitas).
Saat ini terdapat lembaga organisasi yang fokus terhadap pengkaderan dan sebaliknya, yaitu lembaga kaderisasi yang mempunyai tujuan sebagaimana lembaga organisasi. Pada dasarnya memang tidak harus ada dikotomi secara jelas antar lembaga terebut, yang terpenting dari itu semua adalah tujuan dari apa yang mau diraih. Yaitu pencapaian tujuan organisasi yang sekaligus berimplikasi kepada keberhasilan pengkaderan. Atau sebaliknya keberhasilan lembaga pengkaderan yang mengantarkan kepada kesuksesan sebuah organisasi dalam mencapai tujuannya (lembaga pengkaderan yang mempunyai tujuan konkrit).

Dasar Seorang Pemimpin

Dalam sebuah hadis dikatakan “setiap orang adalah pemimpin, maka pemimpin tersebut bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya”. Sekilas ungkapan tersebut terasa ringan, dengan alasan kita telah terbiasa mendengarnya. Dalam kenyataannya, tidak sedikit orang yang tahu sesuatu, akan tetapi tidak mengetahui harus diapakan sesuatu tersebut.
Ketika seorang menjadi pemimpin minimal untuk dirinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai tanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Dalam hal ini, tangung jawab menjadi ukuran atas apa yang harus dilakukan oleh seseorang dengan identitas mereka sebagai pemimpin.
Bagi seorang pelajar, maka tanggung jawabnya adalah belajar. Bagi seorang anak tanggung jawabnya adalah berbakti kepada kedua orang tua. Bagi seorang pegawai, tanggung jawabnya adalah bekerja sesuai aturan. Bagi para atlit, tanggung jawabnya adalah bermain maksimal dan sportif. Bagi seorang muslim maka tanggung jawabnya adalah melaksanakan seluruh ketentuan Allah Swt.
Ketika sesorang bisa memegang tanggungjawab sebagai personal, maka baginya kemudahan ketika harus bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya dari orang selain dirinya sendiri. Inilah hakikat pemimpin, yaitu dapat bertanggung jawab atas tugas yang diembannya.
Meskipun begitu, tanggung jawab pada dasarnya merupakan daya penggerak (motor penggerak). disamping itu, masih diperlukan beberapa perangkat agar mesin tersebut dapat bergerak dengan lancar, yaitu sifat-sifat ideal seorang pemimpin. Diantaranya, Sidik, Amanah Tablig, Fatonah dan sifat ideal lainnya yang dapat dicontoh dari Rasulullah Saw.
Adapun rangkaian mesin beserta body (kerangka) dari sebuah mobil atau motor, maka dapat diibaratkan sebagai program kerja dan perangkat aturan main lainnya. Sehingga, supaya mobil dapat berjalan dan terlihat sesuai dengan keinginan, maka seseorang tersebut dapat melakukan modivikasi sesuai selera.
Yang tidak kalah penting dari itu semua adalah tujuan seorang pemimpin dalam menjalankan sebuah kendaraan, yaitu sebuah visi. Bisa dibayangkan apabila kendaraan dapat berjalan akan tetapi tidak mempunyai tujuan. Maka, seorang pemimpin harus mempunyai visi yang jelas, supaya dapat memberikan kepastian kepada para pengendara akan tempat yang dituju. Yang terakhir adalah seni dalam membawa mobil, yaitu bagaimana kendaraan terebut dapat berjalan dengan lancar sesuai keinginan bersama.

Jumat, 23 September 2011

Geneologi Islam Radikal dan Ekstrem

Geneologi Islam Radikal dan Ekstrem
Oleh: Yayan M Royani

Pada dasarnya, ”Radikalisme Islam” itu merupakan bentuk perkembangan dari faham pundamentalisme. Sebuah faham yang mencoba mengembalikan segala permasalahan kepada teks murni al Quran dan Hadis tanpa mempertimbangkan sumbangan sejarah, filsafat dan tradisi manusia. Faham inilah yang sebenarnya mempengaruhi konservatisme yang ekstrem.
Pundamentalisme sendiri bukanlah politik radikal atau revosulioner, akan tetapi dapat menjadi radikal ketika keinginannya untuk mereformasi masyarakat dijelaskan dalam istilah politik. Sehigga, pundamentalisme dalam sebuah pemahaman tidak menjadi masalah kemanusian sampai faham tersebut diterapkan dalam terminologi politik. Sebagai contoh munculnya ide ”Negara Islam” sebagai bukti pembangkangan kaum fundamentalis terhadap kekuasaan sah yang berasaskan pancasila.
Tidak berbeda dengan Islam Radikal, Islam Ekstrem mempunyai substansi faham yang sama yaitu Islamisme, akan tetapi lebih cenderung militan dalam melaksanakan tujuan politik. Keduanya mempunyai ideologi yang menjunjung Islam sebagai keimanan yang tunggal dan sempurna dan menjadikan non muslim sebagai orang kafir. Tidak mengherankan kalau lahir sebuah istilah dar al Islam dan dar al harb.
Lahirnya faham radikalisme tidak lepas dari konsekuensi ummat Islam yang menjadikan al Quran dan sunnah sebagai pedoman hidup, kesalahan persepsi akan ketentuan teks sebagai objek interpretasi dan sistemtisasi menjadi akar lahirnya faham ini. Jika demikian, maka hampir semua golongan mempunyai potensi untuk mengikuti faham radikalisme.
Sebagai contoh golongan Sunni yang mayoritas melarang usaha pribadi untuk melakukan interpretasi atau ijtihad dan menganggap ortodoksi telah secara tuntas dibangun dan hanya bisa menjadi obyek interpretasi yang bersifat kasuistik bukan pada prinsip umum, pemahaman tersebut tentunya sangat pundamental. Disamping itu, Sunni menganggap bahwa sistem politik ideal adalah masa khulaurrasyidin yang berindikasi pada keterlibatan legalitas agama, maka kekhilafahan Ummayah tidak sah karena tidak memiliki legalitas keagamaan. Penciptaan perangkat Negara berupa hukum dan peraturan Negara atas kehendak pemimpin telah memecahkan monolitisme dan keunikan komunitas muslim awal.
Terkait dengan lahirnya Negara Bangsa yang menjadi permasalahan kekinian, maka golongan Sunni terbagi menjadi dua, diantara sebagian minoritas ingin mengembalikan sistem khulafaurrasyidin, sehingga pemahaman ini menjadi sumber radikalisme kontemporer. Sebaliknya sebagian pasrah dengan keadaan dan mendasari alasannya dengan keutamaan kemaslahatan untuk ummat.
Sebagaimana Sunni, dalam Syi’ah munculnya potensi radikalisme yang lahir dari pergulatan politik pasca Nabi, yaitu meyakini bahwa Ali sebagai khalifah pengganti Rasul dan khalifah seterusnya harus berdasarkan keturunan Ali. Setelah khalifah ke dua belas dinyatakan raib, maka kehalifahan diwakili kaum agamawan modern. Pada abad ke 17 muncul perdebatan ideologis, golongan tradisionalis beranggapan bahwa membuka pintu interpretasi sudah tidak diperlukan karena cukup berpegang pada tradisi. Sebaliknya, golongan pundamentalis meyakini bahwa ulama-ulama besar mempunyai hak untuk menginterpretasikan hukum agama.
Lebih keras dari kedua golongan di atas adalah hambalisme dan wahabisme, keduanya memberikan dua acuan sumber Islam yaitu al Quran dan Hadist saja, tanpa menerima konsensus (ijma) para ulama. Karena terlalu ketat, tidak jarang mereka terjebak dalam substansi teologinya sendiri. Diantaranya dari segi politik, dimana wahabisme tunduk terhadap sistem kerajaan yang sebenarnya tidak terdapat dalam al Quran maupun al Hadis.
Dalam perkembangannya, radikalisme kontemporer lebih banyak mengadopsi ideologi wahabisme ini, yaitu pemahaman yang ketat terhadap pengambilan sumber hukum dari al Quran dan Hadis. Gerakan puritan ini biasa diberi definisi gerakan salafi. Gerakan dan aliran ini dipelopori oleh Jamaluddin al Afghani dan diperbaharui oleh Muhamad Abduh, kemudian secara esensi dielaborasi oleh Hasan Al Banna dan Abu Ala al Maududi
Jika melihat fenomena radikalisme Islam di Indonesia, maka akan kita temukan dua indikasi. Pertama, terkait dengan kekuasan (politik) ansich yaitu menginginkan Indonesia berasaskan Islam secara kaffah. Kelompok ini menganggap khilafah Islamiyah sebagai bentuk politik Nabi ketika berada di madinah, sehingga secara mutlak dapat menjadi solusi di negara yang mayoritas Islam, kelompok ini mengkuatirkan akan pengkhianatan para pemimpin Islam.
Kedua, terkait dengan ajaran Islam yang harus diterapkan secara kaffah oleh muslimin. Dalam hal ini formalisasi syari’ah mutlak diperlukan dengan tujuan mengukuhkan sebuah hukum berlandasakan al Quran dan Sunnah. Akibatnya, tidak jarang mereka berinterpretasi bahwa hukum sosial yang dibuat berdasarkan kesepakatan bukanlah suatu hukum yang patut di ikuti, sebagaimana hukum yang berlaku di Indonesia.
Pada prakteknya, kedua kelompok ini mempunyai apiliasi yang sama, yaitu secara politik dan hukum, Negara Indonesia harus dikuasai oleh Islam. Mereka menolak sekularisme dan liberalisme barat. Diantara gerakan-gerakan Islam Radikal yang sparatis yaitu Darul Islam (Negara Islam Indonesia) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo sampai GAM di Aceh yang dipimpin Hasan Tiro.
Sedangkan fenomena terorisme saat ini, secara pribadi penulis mempunyai banyak prediksi. Disamping secara geneologi gerakan mereka tidak lepas dari pembahasan di atas, lebih dari itu secara khusus para teroris telah melampaui ajaran kemanusiaan umat Islam pada umumnya, yaitu penafsiran terhadap beberapa ayat al Quran tentang jihad fi sabilillah. Bagi mereka berjihad dengan pedang adalah fardlu ’ain sebagaimana diungkapkan adiknya Muchlas (Teroris kasus Bom Bali yang di eksekusi mati) dalam sebuah wawancara di televisi swasta.
Sebagai muslimin yang meyakini akan keutamaan agama Islam sebagai agama rahmat, pastinya akan prihatin atas fenomena gerakan Islam radikal di Indonesia, akan tetapi apakah sebuah keprihatinan akan membawa perubahan? Tentunya tidak, selama keprihatinan tersebut tersimpan dalam hati. Lalu bagaimanakah seharusnya sikap kita?