Jumat, 23 September 2011

Geneologi Islam Radikal dan Ekstrem

Geneologi Islam Radikal dan Ekstrem
Oleh: Yayan M Royani

Pada dasarnya, ”Radikalisme Islam” itu merupakan bentuk perkembangan dari faham pundamentalisme. Sebuah faham yang mencoba mengembalikan segala permasalahan kepada teks murni al Quran dan Hadis tanpa mempertimbangkan sumbangan sejarah, filsafat dan tradisi manusia. Faham inilah yang sebenarnya mempengaruhi konservatisme yang ekstrem.
Pundamentalisme sendiri bukanlah politik radikal atau revosulioner, akan tetapi dapat menjadi radikal ketika keinginannya untuk mereformasi masyarakat dijelaskan dalam istilah politik. Sehigga, pundamentalisme dalam sebuah pemahaman tidak menjadi masalah kemanusian sampai faham tersebut diterapkan dalam terminologi politik. Sebagai contoh munculnya ide ”Negara Islam” sebagai bukti pembangkangan kaum fundamentalis terhadap kekuasaan sah yang berasaskan pancasila.
Tidak berbeda dengan Islam Radikal, Islam Ekstrem mempunyai substansi faham yang sama yaitu Islamisme, akan tetapi lebih cenderung militan dalam melaksanakan tujuan politik. Keduanya mempunyai ideologi yang menjunjung Islam sebagai keimanan yang tunggal dan sempurna dan menjadikan non muslim sebagai orang kafir. Tidak mengherankan kalau lahir sebuah istilah dar al Islam dan dar al harb.
Lahirnya faham radikalisme tidak lepas dari konsekuensi ummat Islam yang menjadikan al Quran dan sunnah sebagai pedoman hidup, kesalahan persepsi akan ketentuan teks sebagai objek interpretasi dan sistemtisasi menjadi akar lahirnya faham ini. Jika demikian, maka hampir semua golongan mempunyai potensi untuk mengikuti faham radikalisme.
Sebagai contoh golongan Sunni yang mayoritas melarang usaha pribadi untuk melakukan interpretasi atau ijtihad dan menganggap ortodoksi telah secara tuntas dibangun dan hanya bisa menjadi obyek interpretasi yang bersifat kasuistik bukan pada prinsip umum, pemahaman tersebut tentunya sangat pundamental. Disamping itu, Sunni menganggap bahwa sistem politik ideal adalah masa khulaurrasyidin yang berindikasi pada keterlibatan legalitas agama, maka kekhilafahan Ummayah tidak sah karena tidak memiliki legalitas keagamaan. Penciptaan perangkat Negara berupa hukum dan peraturan Negara atas kehendak pemimpin telah memecahkan monolitisme dan keunikan komunitas muslim awal.
Terkait dengan lahirnya Negara Bangsa yang menjadi permasalahan kekinian, maka golongan Sunni terbagi menjadi dua, diantara sebagian minoritas ingin mengembalikan sistem khulafaurrasyidin, sehingga pemahaman ini menjadi sumber radikalisme kontemporer. Sebaliknya sebagian pasrah dengan keadaan dan mendasari alasannya dengan keutamaan kemaslahatan untuk ummat.
Sebagaimana Sunni, dalam Syi’ah munculnya potensi radikalisme yang lahir dari pergulatan politik pasca Nabi, yaitu meyakini bahwa Ali sebagai khalifah pengganti Rasul dan khalifah seterusnya harus berdasarkan keturunan Ali. Setelah khalifah ke dua belas dinyatakan raib, maka kehalifahan diwakili kaum agamawan modern. Pada abad ke 17 muncul perdebatan ideologis, golongan tradisionalis beranggapan bahwa membuka pintu interpretasi sudah tidak diperlukan karena cukup berpegang pada tradisi. Sebaliknya, golongan pundamentalis meyakini bahwa ulama-ulama besar mempunyai hak untuk menginterpretasikan hukum agama.
Lebih keras dari kedua golongan di atas adalah hambalisme dan wahabisme, keduanya memberikan dua acuan sumber Islam yaitu al Quran dan Hadist saja, tanpa menerima konsensus (ijma) para ulama. Karena terlalu ketat, tidak jarang mereka terjebak dalam substansi teologinya sendiri. Diantaranya dari segi politik, dimana wahabisme tunduk terhadap sistem kerajaan yang sebenarnya tidak terdapat dalam al Quran maupun al Hadis.
Dalam perkembangannya, radikalisme kontemporer lebih banyak mengadopsi ideologi wahabisme ini, yaitu pemahaman yang ketat terhadap pengambilan sumber hukum dari al Quran dan Hadis. Gerakan puritan ini biasa diberi definisi gerakan salafi. Gerakan dan aliran ini dipelopori oleh Jamaluddin al Afghani dan diperbaharui oleh Muhamad Abduh, kemudian secara esensi dielaborasi oleh Hasan Al Banna dan Abu Ala al Maududi
Jika melihat fenomena radikalisme Islam di Indonesia, maka akan kita temukan dua indikasi. Pertama, terkait dengan kekuasan (politik) ansich yaitu menginginkan Indonesia berasaskan Islam secara kaffah. Kelompok ini menganggap khilafah Islamiyah sebagai bentuk politik Nabi ketika berada di madinah, sehingga secara mutlak dapat menjadi solusi di negara yang mayoritas Islam, kelompok ini mengkuatirkan akan pengkhianatan para pemimpin Islam.
Kedua, terkait dengan ajaran Islam yang harus diterapkan secara kaffah oleh muslimin. Dalam hal ini formalisasi syari’ah mutlak diperlukan dengan tujuan mengukuhkan sebuah hukum berlandasakan al Quran dan Sunnah. Akibatnya, tidak jarang mereka berinterpretasi bahwa hukum sosial yang dibuat berdasarkan kesepakatan bukanlah suatu hukum yang patut di ikuti, sebagaimana hukum yang berlaku di Indonesia.
Pada prakteknya, kedua kelompok ini mempunyai apiliasi yang sama, yaitu secara politik dan hukum, Negara Indonesia harus dikuasai oleh Islam. Mereka menolak sekularisme dan liberalisme barat. Diantara gerakan-gerakan Islam Radikal yang sparatis yaitu Darul Islam (Negara Islam Indonesia) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo sampai GAM di Aceh yang dipimpin Hasan Tiro.
Sedangkan fenomena terorisme saat ini, secara pribadi penulis mempunyai banyak prediksi. Disamping secara geneologi gerakan mereka tidak lepas dari pembahasan di atas, lebih dari itu secara khusus para teroris telah melampaui ajaran kemanusiaan umat Islam pada umumnya, yaitu penafsiran terhadap beberapa ayat al Quran tentang jihad fi sabilillah. Bagi mereka berjihad dengan pedang adalah fardlu ’ain sebagaimana diungkapkan adiknya Muchlas (Teroris kasus Bom Bali yang di eksekusi mati) dalam sebuah wawancara di televisi swasta.
Sebagai muslimin yang meyakini akan keutamaan agama Islam sebagai agama rahmat, pastinya akan prihatin atas fenomena gerakan Islam radikal di Indonesia, akan tetapi apakah sebuah keprihatinan akan membawa perubahan? Tentunya tidak, selama keprihatinan tersebut tersimpan dalam hati. Lalu bagaimanakah seharusnya sikap kita?

1 komentar:

generation of sciece mengatakan...

sdah spatutx n shrusxlah qta sbg intelektual mslim untuk mmbrikan pngarahan kpd msyrkat akn smua ini, agr kmudian mreka tw n fham srta bs mmbrikan skap yg smstix...