Minggu, 02 Oktober 2011

Just Do It…

Sebuah kata yang mudah diucakan tetapi sulit untuk dilaksanakan. Bukankah sebuah kesalahan itu dikarenakan sengaja melanggar aturan dengan kesadaran. Itulah kehidupan, semuanya harus dihadapi sebagai aturan, maka akankah kita selalu berada pada jalan yang lurus atau sebaliknya. Ada benarnya ungkapan istiqomah lebih baik dari seribu karomah.
Beberapa faktor yag menyebabkan tidak terlaksananya sebuah pekerjaan, dapat diklasifikasi dalam dua faktor dasar yaitu eksternal dan internal. Faktor internal lebih menitikberatkan kepada faktor psikologis, sebagai manusia yang mempunyai naluri besar untuk selalu bersenang-senang, bersantai dan tidak ingin bekerja keras, menjadi rintangan untuk tidak melaksanakan sesuatu.
Naluri ini terkait dengan asal usul manusia yang dalam konteks basyariah nya adalah buruk, dapat dilihat dalam ayat al Quran (yaitu dialog antara Allah Swt dengan malaikat, bahwa banusia terdahulu sering melakukan kerusakan di muka bumi. Jika dianalogikan dengan teori evolusi darwin, maka tidak mengherankan apabila naluri kesenangan manusia setingkat dengan binatang. Meskipun begitu, teori darwin ini sangat ditentang para teologi agama.
Merupaka sekenario dari tuhan, adanya kebaikan dan keburukan (meskipun semua itu dari tuhan juga). Oleh sebab itu, asal muasal manusia yang buruk (nurani hedonis) diatur oleh peraturan undang-undang yang dalam keyakinan umat beragama disebut kitab suci. dalam al Quran jelas diterangkan ”apabila kamu telah selesai mengerjakan sesuatu maka kerjakanlah pekerjaan yang lain”, maka tidak ada alasan bagi kita untuk bermalas malasan. Life is moving.
Adapun faktor eksternal meliputi seluruh aspek diluar diri (jiwa psikologis) manusia yang menjadi enghalang untuk mengerjakan sesuatu. Sebagai contoh kesehatan, adanya larangan dan fenomena lain yang menghalangi untuk melakukan sesuatu. Maka oleh sebab dari itu, just do it, dont be lazy couse life is moving…

Relatifitas Hukum

Relatifitas Hukum
Berawal dari diskusi kecil antara senior dan junior. Senior, ”dek pada dasarnya manusia itu buruk lho”. Karena junior baru ikut talk shaw agama konghucu (meskipun tidak beragama itu) maka dia berkata, ”kata Nabi Kongzi manusia itu tadinya baik lho”. Lalu diskusi berkembang kepada permasalahan yang sebelumnya telah dibahas, yaitu tentang aturan atau hukum yang berlaku sebagai alat untuk menekan ego manusia yang tadinya buruk.
Junior, ”lho bagaimana bisa menjadi sebagai alat penekan ego?”. Menurut Junior hal tersebut tidak benar, karena ada hukum yang berlaku untuk melindungi dari kebiasaan sebuah kelompok masyarakat. Sehingga tidak menekan ego, akan tetapi melindungi ego (keinginan naluri) tersebut. dalam hal ini, hukum bertujuan untuk sebuah kebahagiaan, maka menurutnya lahirlah namanya aliran hedonisme.
Pendapatnya tersebut bukan berarti tanpa dasar, karena menurut pengetahuannya, aturan dibuat dengan berbagai tujuan, diantaranya sebagai alat paksa dan perubah (sosial enginering), lainnya sebagai pelindung dari apa yang telah berlaku pada diri masyarakat itu sendiri. Sehingga aturan (hukum) dapat dapat bersifat fositif aupun negatif.
Jika diperdalam, pada dasarnya pemasalahan ini bermula dari ambiguitas penegertian antara norma, moral dan nilai (jika ingin mendasari bahwa hukum berasal dari hal tersebut). Menurut Senior, bahwa aturan yang berlaku pada masarakat menjadi titik tolak nilai kebaikan yang diakui. Alasannya jelas bahwa ego itu ditekan oleh norma dan aturan dalam masyarakat, sehingga norma dan aturan menjadi super hero. Berbeda dengan si junior, menurutnya tidak semua norma yang diberlakukan itu mempunyai sifat kebaikan (nilai baik), yaitu apabila norma tersebut diartikan sebagai peraturan. Dalam hal ini, mungkin dia masih meyakini akan adanya kebenaran yang relatif.
Untuk memperjelas masalah definisi norma, moral dan nilai, maka junior mencoba mengingat kembali pengetahuan hasil diskusinya bersama teman-teman sekelasnya. Si A berkata ”moral adalah kumpulan dari norma-norma dan nilai”. Si B berkata ”itu terbalik, yang benar bahwa norma adalah kumpulan dari moral-moral dan nilai” dia beralasan bahwa, seorang dapat menentukan sesuatu itu baik harus didasarkan pada penilaian subjektif (personal) akan kebaikan yang diyakininya. dia sendiri setuju dengan pendapatnya Imanuel Khan.
Si A menambahi dengan sebuah referensi ”norma itu adalah nilai-nilai yang ada pada diri masing-masing, ketika itu sudah disepakati maka itu disebut dengan moral”. Karena dia memakai referensi, akhirnya ditetapkan definisi tersebut. jika ditelusuri, dapat dilihat bahwa nilai baik dan baruk menjadi bahan dasar terjadinya norma dan moral. Dari sanalah muncul aturan yang bertujuan untuk menegakan kebaikan dan menghukum kejahatan. Jika melihat realitanya, memang hukum itu tidak bebas nilai, yang berarti si Senior dianggap benar (meskipun debatebel).
Dari diskusi sekarang menjadi debat. Pada saat ini, permasalahan fokus pada pemberlakuan hukum itu sendiri. Menurut junior (masih ngotot) bahwa dari adanya berbagai tujuan hukum seperti keadilan, kepastian dan kemanfaatan, menunjukan bahwa hukum itu reltif dilihat dari siapa yang membuat. Bisa jadi orang yang membuat aturan tidak untuk sebuah kebaikan, akan tetapi untuk tujuan pribadi (egoisteis) sehingga aturan tersebut menjadi buruk dan bermasalah. Dalam hal ini, hukum (aturan) menjadi sebuah kejelekan tidak sebaliknya.
Senior ”wah kamu itu terlalu berfikir holistik, saat ini kita itu harus fokus terhadap realita permasalahan”. Menurutnya, teori-teori dari berbagai tokoh harus dijadikan sebagai pengantar dalam menjawab permaslahan. Untuk sementara pendapat tersebut diterima oleh junior. Sekaligus dia bertanya, ”lalu apa permaslahannya?”.
”Kita lihat kondisi Indonesia saat ini, meskipun telah banyak undang-undang ditelurkan, pada kenyataannya Indonesia belum merasakan perubahan yang signifikan, lalu apa gunanya pemerintah dan undang-undang tersebut”. menurutnya, aturan-aturan pemerintah justru mengikis kebaikan-kebaikan dari masyarakat itu sendiri, dengan alasan bahwa aturan tersebut tidak bersal dari bawah tetapi top down. Masih menurutnya, fenomena in semua dikarenakan Indonesia menjalankan sistem demokrasi yang tidak sempurna. ”kita bisa lihat, masa demokrasi harus kontra terhadap kapitalisme, dia menambahi bahwa dengan demokrasi, adanya struktur kasta dalam masyarakat adalah sebuah keneiscayaan”.
Permaslahan semakin melebar. Menanggapi hal tersebut Junior langsung memberikan sanggahan. ”maaf Senior, perlu kita ketahui bahwa asas Negara kita memang demokrasi, semenjak zaman Soekarno yang dimulai dengan sistem demokrasi terpimpin sampai saat ini dimana demokrasi tidak diketahui modelnya”. Dia (junior) menambahkan, bahwa dalam melihat permasalahan global, maka tidak harus ada dikotomi antar pengetahuan. Sebagai contoh adanya pembedaan antara demokrasi politik dan ekonomi.
Senior (dengan ngotot), ”tidak hanya dalam hal itu, pada dasarnya, orang indonesia belum siap untuk diadakan pemilu langsung”. Menurutnya masyarakt Indonesia masih bodoh-bodoh sehingga apabila memilihpun akan lebih banyak madarat dari pada maslahat. Meskipun begitu, Senior tidak serta merta setuju dengan bentuk perwakilan dan sebagainya. To be continue.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Ayo Sadar Nilai Pancasila

Sebagai orang Indonesia, sebuah keniscayaan apabila tidak bisa menghapal pancasila. Tanpa terkecuali status social atau ideologi apapun, dipastikan semuanya mengetahui akan pancasila sebagai dasar Negara. tidak ada alasan bagi orang Indonesia untuk tidak mngetahui Pnacasila, meskipun dalam kenyataanya pasti ada yang tidak mengetahui pancasila.
Yang menjadi permasalahan sekarang, pancasila yang terdiri sila-sila tersebut ternyata tidak diamalkan, yaitu nilai-niainya tidak sampai merasuk kepada hati sanubari orang Indonesia. lalu apalah artinya sebuah teks jika tidak mampu memberikan pengaruh perubahan. Akan tetapi, meskipun begitu, kita tidak bisa serta merta menyalahkan teks yang telah ditetapkan dengan nama pancasila. Karena jangankan teks formal seperti pancasila, terkadang dengan nama sendiri saja tidak sadar. Sebagai contoh Nama solihin tapi tidak sholeh, nama nazarudin tapi tidak berprilaku sesuai dengan agama, dan nama-nama lainnya yang tidak bisa disebut satu-persatu. Lebih parah dari itu, pada bacaan yang bersifat keimanan (ibadah) yang katanya pedoman hidup sebagaimana bacaan dalam sholat, tidak banyak orang indonesia yang sadar dan faham atas apa yang mereka baca.
Fenomena tersebut harus dicari penyebabnya. Implikasinya jelas, bahwa tidak ada artinya sebuah Negara apabila tidak ada aturan bersama, dan aturan bersama tidak ada artinya apabila tidak ada yang mau mentaati. Contoh konkrit adalah pancasila dan undang-undang dasar yang hanya menjadi teks mati. Sehingga, jangan dulu berbicara undang-undang yang menyatakan Negara ini adalah Negara hukum, apabila masyarakatnya saja belum sadar hukum (belum siap menjalankan aturan hukum).
Dalam hal ini, analisis sosial mutlak diperlukan meskipun masih bersifat spekulatif. Diantaranya, kemungkinan besar orang Indonesia mempunyai kultur yang bergam dan tidak biasa formal. Dalam sejarah perkembangannya, Hampir seluruh budaya suku di Indonesia berbasis paguyuban dan kekeluargaan. Hukum mereka lahir dari norma hukum yang berkembang pada suku atau masayarakat mereka sendiri. Jikapun ada peraturan yang bersifat intrukstif, maka aturan tersebut berasal dari raja atau kepala suku karismatik yang secara sosial, masyarakat mempercayakan nasib mereka kepadanya.
Sebuah keniscayaan apabila berbicara Negara, maka seluruh perbadaan harus dilebur. Padahal, peleburan inilah yang menjadi awal permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia, mulai dari deklarasi proklamasi oleh Soekarna Hatta sampai sekarang. Bisa dibilang, individu orang Indonesia masih memikirkan kepentingan golongan mereka masing-masing. Belum ada sebuah felling memikirkan kepentingan sekala besar yaitu negara. dalam hal ini, filling tersebut adalah Nasionalisme.
Jika merunut dari permaslahan di depan, yaitu kurang sadarnya orang indonesia terhadap aturan hukum Nasional, bisa juga disebabkan dari tidak biasanya orang Indonesia dalam menerima aturan dari luar diri atau kelompok mereka sendiri. Loginya jelas, dalam kelompok sendiri, mereka dapat merasakan secara langsung pengaruh dan keuntungan yang mereka dapatkan. Dalam kata lain, antara hukum yang berlaku dan pentaatan masyarakat terjadi simbiosis mutualisme konkrit. Sedangkan dalam sekala Nasional, hal tersebut jarang mereka rasakan.
Sebagai solusi yang tidak konkrit, ada dua jalur alternatif dari penulis. Pertama, dengan menumbuhkan kesadaran hukum (teks) dari setiap orang Indonesia, dengan jalan menciptakan sebuah aturan yang sesuai dengan nilai-nilai dasar mereka. Yang akhirnya meskipun tanpa hukum tertulis pun aturan telah dapat berjalan.
Terkait hal tersebut, tentunya akan mendapatkan kesulitan karena Indonesia mempunyai berbagai corak Agama dan budaya. Akan tetapi bisa diantisipasi dengan menjadikan kelemahan sebagai kekuatan, yaitu dengan menjadikan lembaga Agama dan budaya gerbang awal budaya taat hukum tekstual sekaligus menumbuhkan nasionalisme. Yang perlu digaris bawahi, bahwa budaya sadar hukum adalah tergantung menetukan sejauh mana kulaitas intelektual orang Indonesia.
Kedua, usaha pemerintah dalam menyadarkan budaya taat hukum orang Indonesia dengan simbiosis mutualisme. Yaitu dengan menumbuhkan perasaan bahwa mereka diperhatikan oleh pemerintah, sebagai contoh memberikan kesejateraan yang merata, khususnya bagi mereka yang masih tertinggal. Dengan begitu, masyarakat akan berhtang budi kepada pemerintah yang akhirnya timbul kesadaran taat hukum tanpa adanya sebuah paksaan.