Sabtu, 26 November 2011

Rahasia Makan

Hanya berbagi pengalaman untuk teman-teman, sepintas kegiatan makan tidaklah penting untuk dibahas, karena makan telah menjadi kebiasaan sehari-hari bahkan semenjak dalam kandungan. Semua orang tau apa itu makan, tanpa dajaripun dia pasti butuh makan. Hanya saja, dibalik insting dasar manusia terdapat resiko kebaikan dan keburukan. Bukankah adanya hukum sebagai nafigator untuk meluruskan insting manusia tersebut.
Tidak mengherankan apabila Rasul memberikan arahan (rambu-rambu) terkait kegiatan makan. Diantaranya, makanlah kamu diawali dengan berdoa, dalam hal ini sangat jelas bahwa makan tidak sekedar melampiaskan nafsu. Lebih dari itu ada dimensi ilahiyah yang dapat ditafsirkan dari berbagai sudut pandang. Diantaranya, makan harus karena Allah, dalam artian kegiatan makan untuk mengembalikan kekuatan dalam menjalankan ibadah.
Disamping itu, makan harus dari rizki yang halal, karena dalam doa yang dipanjatkan kita meminta keberkahan rizki, selain itu kita meminta untuk dijauhkan dari siksa api neraka dengan maksud kekuatan yang dikembalikan lewat sari makanan diperguganakan untuk kebaikan. Dari tujuan makan karena Allah, masih banyak nilai moral lain yang dapat diambil hikmahnya, diantanya adalah menghindarkan diri dari ketamakan dan sifat lain akibat buruknya makanan yang kita makan. Ingatlah bahwa seburuk-buruknya tempat adalah perut.
Rasul mengajarkan kita untuk berhenti makan sebelum kenyang, ini mempunyai arti bahwa keyang dapat menyebabkan berbagai efek negative, diantaranya lemah, lesu dan malas kerena pencernaan mendapatkan beban yang berelebih. Perlu diketahui, apabila usus selalu diisi dengan kapasitas full maka semakin besarlah kapasitasnya untuk menampung makanan, akibatnya semakin banyaklah makanan yang harus dimakan. Dalam hal ini, dampak ekonomis menjadi berperan secara signifikan.
Kenyang termasuk dari nafsu yang harus dipenuhi, oleh karenanya menahan diri supaya tidak kenyang termasuk menahan nafsu yang dapat menghilangkan logika. Berlatih sabar dengan makan dapat memberikan efek bagi kesabaran-kesabaran yang lain. Focus logika dalam makan adalah menikmati rasa makanan, bukan tujuannya yaitu kenyang, sehingga dapat diambil hikmah bahwa dalam kehidupan fokuskanlah pada usaha bukan hasil. Perlu diperhatikan dalam praktek menikmati makanan adalah kelezatan yang relative, dalam hal ini sugesti dengan rasa syukur diperlukan ketika kita makan makanan yang tidak enak.
Rasul mengajarkan kita untuk mengunyah makanan sebanyak dua puluh delapan kali, tidak sekedar untuk kesehatan pencernaan berupa halusnya makanan yang dicerna parut, lebih dari itu sikap (mental) hati-hati (teliti) dan tidak terburu-buru menjadi alasan pentingnya mengunyah makan dengan maksimal. Sebagimana dilansir yahoo, bahwa makan dengan cara cepat dapat menjadi penyebab kegemukan badan, alasannya karena otak tidak secara selaras merespon kinerja mulut dan lambung, akibatnya seseorang akan merasa lapar terus.
Meskipun begitu sebagian orang menggap bahwa makan cepat identik dengan sikap yang serba cekatan dan cepat pula, sehingga mempunyai dampak positif. Terkait hal tersebut tergantung dari sudut pandang masing-masing individu. Yang perlu diperhatikan, dalam berbagai riwayat dikatakan bahwa terburu buru dalam menyelesaikan masalah tanpa pertimbangan akal budi tidak diperkenankan. Apalagi yang menjadi rujukan adalah gaya makan, yang dalam prakteknya berhubungan dengan rasa bukan logika.

Minggu, 02 Oktober 2011

Just Do It…

Sebuah kata yang mudah diucakan tetapi sulit untuk dilaksanakan. Bukankah sebuah kesalahan itu dikarenakan sengaja melanggar aturan dengan kesadaran. Itulah kehidupan, semuanya harus dihadapi sebagai aturan, maka akankah kita selalu berada pada jalan yang lurus atau sebaliknya. Ada benarnya ungkapan istiqomah lebih baik dari seribu karomah.
Beberapa faktor yag menyebabkan tidak terlaksananya sebuah pekerjaan, dapat diklasifikasi dalam dua faktor dasar yaitu eksternal dan internal. Faktor internal lebih menitikberatkan kepada faktor psikologis, sebagai manusia yang mempunyai naluri besar untuk selalu bersenang-senang, bersantai dan tidak ingin bekerja keras, menjadi rintangan untuk tidak melaksanakan sesuatu.
Naluri ini terkait dengan asal usul manusia yang dalam konteks basyariah nya adalah buruk, dapat dilihat dalam ayat al Quran (yaitu dialog antara Allah Swt dengan malaikat, bahwa banusia terdahulu sering melakukan kerusakan di muka bumi. Jika dianalogikan dengan teori evolusi darwin, maka tidak mengherankan apabila naluri kesenangan manusia setingkat dengan binatang. Meskipun begitu, teori darwin ini sangat ditentang para teologi agama.
Merupaka sekenario dari tuhan, adanya kebaikan dan keburukan (meskipun semua itu dari tuhan juga). Oleh sebab itu, asal muasal manusia yang buruk (nurani hedonis) diatur oleh peraturan undang-undang yang dalam keyakinan umat beragama disebut kitab suci. dalam al Quran jelas diterangkan ”apabila kamu telah selesai mengerjakan sesuatu maka kerjakanlah pekerjaan yang lain”, maka tidak ada alasan bagi kita untuk bermalas malasan. Life is moving.
Adapun faktor eksternal meliputi seluruh aspek diluar diri (jiwa psikologis) manusia yang menjadi enghalang untuk mengerjakan sesuatu. Sebagai contoh kesehatan, adanya larangan dan fenomena lain yang menghalangi untuk melakukan sesuatu. Maka oleh sebab dari itu, just do it, dont be lazy couse life is moving…

Relatifitas Hukum

Relatifitas Hukum
Berawal dari diskusi kecil antara senior dan junior. Senior, ”dek pada dasarnya manusia itu buruk lho”. Karena junior baru ikut talk shaw agama konghucu (meskipun tidak beragama itu) maka dia berkata, ”kata Nabi Kongzi manusia itu tadinya baik lho”. Lalu diskusi berkembang kepada permasalahan yang sebelumnya telah dibahas, yaitu tentang aturan atau hukum yang berlaku sebagai alat untuk menekan ego manusia yang tadinya buruk.
Junior, ”lho bagaimana bisa menjadi sebagai alat penekan ego?”. Menurut Junior hal tersebut tidak benar, karena ada hukum yang berlaku untuk melindungi dari kebiasaan sebuah kelompok masyarakat. Sehingga tidak menekan ego, akan tetapi melindungi ego (keinginan naluri) tersebut. dalam hal ini, hukum bertujuan untuk sebuah kebahagiaan, maka menurutnya lahirlah namanya aliran hedonisme.
Pendapatnya tersebut bukan berarti tanpa dasar, karena menurut pengetahuannya, aturan dibuat dengan berbagai tujuan, diantaranya sebagai alat paksa dan perubah (sosial enginering), lainnya sebagai pelindung dari apa yang telah berlaku pada diri masyarakat itu sendiri. Sehingga aturan (hukum) dapat dapat bersifat fositif aupun negatif.
Jika diperdalam, pada dasarnya pemasalahan ini bermula dari ambiguitas penegertian antara norma, moral dan nilai (jika ingin mendasari bahwa hukum berasal dari hal tersebut). Menurut Senior, bahwa aturan yang berlaku pada masarakat menjadi titik tolak nilai kebaikan yang diakui. Alasannya jelas bahwa ego itu ditekan oleh norma dan aturan dalam masyarakat, sehingga norma dan aturan menjadi super hero. Berbeda dengan si junior, menurutnya tidak semua norma yang diberlakukan itu mempunyai sifat kebaikan (nilai baik), yaitu apabila norma tersebut diartikan sebagai peraturan. Dalam hal ini, mungkin dia masih meyakini akan adanya kebenaran yang relatif.
Untuk memperjelas masalah definisi norma, moral dan nilai, maka junior mencoba mengingat kembali pengetahuan hasil diskusinya bersama teman-teman sekelasnya. Si A berkata ”moral adalah kumpulan dari norma-norma dan nilai”. Si B berkata ”itu terbalik, yang benar bahwa norma adalah kumpulan dari moral-moral dan nilai” dia beralasan bahwa, seorang dapat menentukan sesuatu itu baik harus didasarkan pada penilaian subjektif (personal) akan kebaikan yang diyakininya. dia sendiri setuju dengan pendapatnya Imanuel Khan.
Si A menambahi dengan sebuah referensi ”norma itu adalah nilai-nilai yang ada pada diri masing-masing, ketika itu sudah disepakati maka itu disebut dengan moral”. Karena dia memakai referensi, akhirnya ditetapkan definisi tersebut. jika ditelusuri, dapat dilihat bahwa nilai baik dan baruk menjadi bahan dasar terjadinya norma dan moral. Dari sanalah muncul aturan yang bertujuan untuk menegakan kebaikan dan menghukum kejahatan. Jika melihat realitanya, memang hukum itu tidak bebas nilai, yang berarti si Senior dianggap benar (meskipun debatebel).
Dari diskusi sekarang menjadi debat. Pada saat ini, permasalahan fokus pada pemberlakuan hukum itu sendiri. Menurut junior (masih ngotot) bahwa dari adanya berbagai tujuan hukum seperti keadilan, kepastian dan kemanfaatan, menunjukan bahwa hukum itu reltif dilihat dari siapa yang membuat. Bisa jadi orang yang membuat aturan tidak untuk sebuah kebaikan, akan tetapi untuk tujuan pribadi (egoisteis) sehingga aturan tersebut menjadi buruk dan bermasalah. Dalam hal ini, hukum (aturan) menjadi sebuah kejelekan tidak sebaliknya.
Senior ”wah kamu itu terlalu berfikir holistik, saat ini kita itu harus fokus terhadap realita permasalahan”. Menurutnya, teori-teori dari berbagai tokoh harus dijadikan sebagai pengantar dalam menjawab permaslahan. Untuk sementara pendapat tersebut diterima oleh junior. Sekaligus dia bertanya, ”lalu apa permaslahannya?”.
”Kita lihat kondisi Indonesia saat ini, meskipun telah banyak undang-undang ditelurkan, pada kenyataannya Indonesia belum merasakan perubahan yang signifikan, lalu apa gunanya pemerintah dan undang-undang tersebut”. menurutnya, aturan-aturan pemerintah justru mengikis kebaikan-kebaikan dari masyarakat itu sendiri, dengan alasan bahwa aturan tersebut tidak bersal dari bawah tetapi top down. Masih menurutnya, fenomena in semua dikarenakan Indonesia menjalankan sistem demokrasi yang tidak sempurna. ”kita bisa lihat, masa demokrasi harus kontra terhadap kapitalisme, dia menambahi bahwa dengan demokrasi, adanya struktur kasta dalam masyarakat adalah sebuah keneiscayaan”.
Permaslahan semakin melebar. Menanggapi hal tersebut Junior langsung memberikan sanggahan. ”maaf Senior, perlu kita ketahui bahwa asas Negara kita memang demokrasi, semenjak zaman Soekarno yang dimulai dengan sistem demokrasi terpimpin sampai saat ini dimana demokrasi tidak diketahui modelnya”. Dia (junior) menambahkan, bahwa dalam melihat permasalahan global, maka tidak harus ada dikotomi antar pengetahuan. Sebagai contoh adanya pembedaan antara demokrasi politik dan ekonomi.
Senior (dengan ngotot), ”tidak hanya dalam hal itu, pada dasarnya, orang indonesia belum siap untuk diadakan pemilu langsung”. Menurutnya masyarakt Indonesia masih bodoh-bodoh sehingga apabila memilihpun akan lebih banyak madarat dari pada maslahat. Meskipun begitu, Senior tidak serta merta setuju dengan bentuk perwakilan dan sebagainya. To be continue.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Ayo Sadar Nilai Pancasila

Sebagai orang Indonesia, sebuah keniscayaan apabila tidak bisa menghapal pancasila. Tanpa terkecuali status social atau ideologi apapun, dipastikan semuanya mengetahui akan pancasila sebagai dasar Negara. tidak ada alasan bagi orang Indonesia untuk tidak mngetahui Pnacasila, meskipun dalam kenyataanya pasti ada yang tidak mengetahui pancasila.
Yang menjadi permasalahan sekarang, pancasila yang terdiri sila-sila tersebut ternyata tidak diamalkan, yaitu nilai-niainya tidak sampai merasuk kepada hati sanubari orang Indonesia. lalu apalah artinya sebuah teks jika tidak mampu memberikan pengaruh perubahan. Akan tetapi, meskipun begitu, kita tidak bisa serta merta menyalahkan teks yang telah ditetapkan dengan nama pancasila. Karena jangankan teks formal seperti pancasila, terkadang dengan nama sendiri saja tidak sadar. Sebagai contoh Nama solihin tapi tidak sholeh, nama nazarudin tapi tidak berprilaku sesuai dengan agama, dan nama-nama lainnya yang tidak bisa disebut satu-persatu. Lebih parah dari itu, pada bacaan yang bersifat keimanan (ibadah) yang katanya pedoman hidup sebagaimana bacaan dalam sholat, tidak banyak orang indonesia yang sadar dan faham atas apa yang mereka baca.
Fenomena tersebut harus dicari penyebabnya. Implikasinya jelas, bahwa tidak ada artinya sebuah Negara apabila tidak ada aturan bersama, dan aturan bersama tidak ada artinya apabila tidak ada yang mau mentaati. Contoh konkrit adalah pancasila dan undang-undang dasar yang hanya menjadi teks mati. Sehingga, jangan dulu berbicara undang-undang yang menyatakan Negara ini adalah Negara hukum, apabila masyarakatnya saja belum sadar hukum (belum siap menjalankan aturan hukum).
Dalam hal ini, analisis sosial mutlak diperlukan meskipun masih bersifat spekulatif. Diantaranya, kemungkinan besar orang Indonesia mempunyai kultur yang bergam dan tidak biasa formal. Dalam sejarah perkembangannya, Hampir seluruh budaya suku di Indonesia berbasis paguyuban dan kekeluargaan. Hukum mereka lahir dari norma hukum yang berkembang pada suku atau masayarakat mereka sendiri. Jikapun ada peraturan yang bersifat intrukstif, maka aturan tersebut berasal dari raja atau kepala suku karismatik yang secara sosial, masyarakat mempercayakan nasib mereka kepadanya.
Sebuah keniscayaan apabila berbicara Negara, maka seluruh perbadaan harus dilebur. Padahal, peleburan inilah yang menjadi awal permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia, mulai dari deklarasi proklamasi oleh Soekarna Hatta sampai sekarang. Bisa dibilang, individu orang Indonesia masih memikirkan kepentingan golongan mereka masing-masing. Belum ada sebuah felling memikirkan kepentingan sekala besar yaitu negara. dalam hal ini, filling tersebut adalah Nasionalisme.
Jika merunut dari permaslahan di depan, yaitu kurang sadarnya orang indonesia terhadap aturan hukum Nasional, bisa juga disebabkan dari tidak biasanya orang Indonesia dalam menerima aturan dari luar diri atau kelompok mereka sendiri. Loginya jelas, dalam kelompok sendiri, mereka dapat merasakan secara langsung pengaruh dan keuntungan yang mereka dapatkan. Dalam kata lain, antara hukum yang berlaku dan pentaatan masyarakat terjadi simbiosis mutualisme konkrit. Sedangkan dalam sekala Nasional, hal tersebut jarang mereka rasakan.
Sebagai solusi yang tidak konkrit, ada dua jalur alternatif dari penulis. Pertama, dengan menumbuhkan kesadaran hukum (teks) dari setiap orang Indonesia, dengan jalan menciptakan sebuah aturan yang sesuai dengan nilai-nilai dasar mereka. Yang akhirnya meskipun tanpa hukum tertulis pun aturan telah dapat berjalan.
Terkait hal tersebut, tentunya akan mendapatkan kesulitan karena Indonesia mempunyai berbagai corak Agama dan budaya. Akan tetapi bisa diantisipasi dengan menjadikan kelemahan sebagai kekuatan, yaitu dengan menjadikan lembaga Agama dan budaya gerbang awal budaya taat hukum tekstual sekaligus menumbuhkan nasionalisme. Yang perlu digaris bawahi, bahwa budaya sadar hukum adalah tergantung menetukan sejauh mana kulaitas intelektual orang Indonesia.
Kedua, usaha pemerintah dalam menyadarkan budaya taat hukum orang Indonesia dengan simbiosis mutualisme. Yaitu dengan menumbuhkan perasaan bahwa mereka diperhatikan oleh pemerintah, sebagai contoh memberikan kesejateraan yang merata, khususnya bagi mereka yang masih tertinggal. Dengan begitu, masyarakat akan berhtang budi kepada pemerintah yang akhirnya timbul kesadaran taat hukum tanpa adanya sebuah paksaan.

Jumat, 30 September 2011

Kesuksesan Lembaga Pengkaderan

Sebuah keniscayaan apabila ada orang yang bertanya ”apa sih standar kesuksesan lembaga pengkaderan?”. Sangat mudah dijawab, tetapi sulit dibuktikan, yaitu apabila para kadernya tetap berpegang pada apa saja yang diberikan (dikaderkan) dalam kondisi apapun dan menjadi apapun.
Secara garis besar, lembaga pengkaderan dibagi menjadi dua katogori. Pertama, lembaga pengkaderan yang mempunyai tujuan tertentu (kongkrit). Sehingga lembaga pengkaderan tersebut menjadi pengantar seseorang untuk menjadi apa yang dikaderkan. Sebagaimana kader yang berada di partai politik yang dididik untuk menjadi politikus pengganti para seniornya.
Kedua, lembaga pengkaderan yang mempunyai tujuan memberikan penggalian potensi diri sesuai apa yang dikaderkan. Dalam hal ini, lembaga pengkaderan hanya membekali kader, untuk selanjutnya kader tersebut dapat memilih tujuan sendiri sesuai keinginannya. Selama kader tersebut masih berpegang kepada apa yang dikaderkan, maka lembaga tersebut dianggap berhasil, sehingga bisa dikatakan standar nilai keberhasilannya abstrak.
Sebuah ukuran keberhasilan lembaga pengkaderan, tentunya berbeda dengan lembaga organisasi yang memepunyai tujuan dan pekerjaan tertentu. Dalam lembaga organisasi ada tujuan yang harus dicapai, atau minimal mempunyai tanggung jawab pekerjaan yang harus dilakukan lembaga organisasi tersebut. Maka, seorang yang berada pada lembaga organisasi menjadi pelaksana atas tujuan yang harus dicapai lembaga organisasi .
Adapun lembaga pengkaderan sebaliknya, dimana lembaga yang bekerja untuk orang yang berada didalamnya. Oleh sebab yang menjadi objek tujuan adalah orangnya, maka hasil yang didapatkan akan sangat abstrak dan berfariasi, yaitu tergantung peran orang-orang yang mengatasnamakan lembaga pengkaderan tersebut dan sebaliknya. Sehingga sulit untuk menentukan standar keberhasilan apabila yang menjadi tujuannya bersifat abstrak (bersifat potensi dan moralitas).
Saat ini terdapat lembaga organisasi yang fokus terhadap pengkaderan dan sebaliknya, yaitu lembaga kaderisasi yang mempunyai tujuan sebagaimana lembaga organisasi. Pada dasarnya memang tidak harus ada dikotomi secara jelas antar lembaga terebut, yang terpenting dari itu semua adalah tujuan dari apa yang mau diraih. Yaitu pencapaian tujuan organisasi yang sekaligus berimplikasi kepada keberhasilan pengkaderan. Atau sebaliknya keberhasilan lembaga pengkaderan yang mengantarkan kepada kesuksesan sebuah organisasi dalam mencapai tujuannya (lembaga pengkaderan yang mempunyai tujuan konkrit).

Dasar Seorang Pemimpin

Dalam sebuah hadis dikatakan “setiap orang adalah pemimpin, maka pemimpin tersebut bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya”. Sekilas ungkapan tersebut terasa ringan, dengan alasan kita telah terbiasa mendengarnya. Dalam kenyataannya, tidak sedikit orang yang tahu sesuatu, akan tetapi tidak mengetahui harus diapakan sesuatu tersebut.
Ketika seorang menjadi pemimpin minimal untuk dirinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai tanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Dalam hal ini, tangung jawab menjadi ukuran atas apa yang harus dilakukan oleh seseorang dengan identitas mereka sebagai pemimpin.
Bagi seorang pelajar, maka tanggung jawabnya adalah belajar. Bagi seorang anak tanggung jawabnya adalah berbakti kepada kedua orang tua. Bagi seorang pegawai, tanggung jawabnya adalah bekerja sesuai aturan. Bagi para atlit, tanggung jawabnya adalah bermain maksimal dan sportif. Bagi seorang muslim maka tanggung jawabnya adalah melaksanakan seluruh ketentuan Allah Swt.
Ketika sesorang bisa memegang tanggungjawab sebagai personal, maka baginya kemudahan ketika harus bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya dari orang selain dirinya sendiri. Inilah hakikat pemimpin, yaitu dapat bertanggung jawab atas tugas yang diembannya.
Meskipun begitu, tanggung jawab pada dasarnya merupakan daya penggerak (motor penggerak). disamping itu, masih diperlukan beberapa perangkat agar mesin tersebut dapat bergerak dengan lancar, yaitu sifat-sifat ideal seorang pemimpin. Diantaranya, Sidik, Amanah Tablig, Fatonah dan sifat ideal lainnya yang dapat dicontoh dari Rasulullah Saw.
Adapun rangkaian mesin beserta body (kerangka) dari sebuah mobil atau motor, maka dapat diibaratkan sebagai program kerja dan perangkat aturan main lainnya. Sehingga, supaya mobil dapat berjalan dan terlihat sesuai dengan keinginan, maka seseorang tersebut dapat melakukan modivikasi sesuai selera.
Yang tidak kalah penting dari itu semua adalah tujuan seorang pemimpin dalam menjalankan sebuah kendaraan, yaitu sebuah visi. Bisa dibayangkan apabila kendaraan dapat berjalan akan tetapi tidak mempunyai tujuan. Maka, seorang pemimpin harus mempunyai visi yang jelas, supaya dapat memberikan kepastian kepada para pengendara akan tempat yang dituju. Yang terakhir adalah seni dalam membawa mobil, yaitu bagaimana kendaraan terebut dapat berjalan dengan lancar sesuai keinginan bersama.

Jumat, 23 September 2011

Geneologi Islam Radikal dan Ekstrem

Geneologi Islam Radikal dan Ekstrem
Oleh: Yayan M Royani

Pada dasarnya, ”Radikalisme Islam” itu merupakan bentuk perkembangan dari faham pundamentalisme. Sebuah faham yang mencoba mengembalikan segala permasalahan kepada teks murni al Quran dan Hadis tanpa mempertimbangkan sumbangan sejarah, filsafat dan tradisi manusia. Faham inilah yang sebenarnya mempengaruhi konservatisme yang ekstrem.
Pundamentalisme sendiri bukanlah politik radikal atau revosulioner, akan tetapi dapat menjadi radikal ketika keinginannya untuk mereformasi masyarakat dijelaskan dalam istilah politik. Sehigga, pundamentalisme dalam sebuah pemahaman tidak menjadi masalah kemanusian sampai faham tersebut diterapkan dalam terminologi politik. Sebagai contoh munculnya ide ”Negara Islam” sebagai bukti pembangkangan kaum fundamentalis terhadap kekuasaan sah yang berasaskan pancasila.
Tidak berbeda dengan Islam Radikal, Islam Ekstrem mempunyai substansi faham yang sama yaitu Islamisme, akan tetapi lebih cenderung militan dalam melaksanakan tujuan politik. Keduanya mempunyai ideologi yang menjunjung Islam sebagai keimanan yang tunggal dan sempurna dan menjadikan non muslim sebagai orang kafir. Tidak mengherankan kalau lahir sebuah istilah dar al Islam dan dar al harb.
Lahirnya faham radikalisme tidak lepas dari konsekuensi ummat Islam yang menjadikan al Quran dan sunnah sebagai pedoman hidup, kesalahan persepsi akan ketentuan teks sebagai objek interpretasi dan sistemtisasi menjadi akar lahirnya faham ini. Jika demikian, maka hampir semua golongan mempunyai potensi untuk mengikuti faham radikalisme.
Sebagai contoh golongan Sunni yang mayoritas melarang usaha pribadi untuk melakukan interpretasi atau ijtihad dan menganggap ortodoksi telah secara tuntas dibangun dan hanya bisa menjadi obyek interpretasi yang bersifat kasuistik bukan pada prinsip umum, pemahaman tersebut tentunya sangat pundamental. Disamping itu, Sunni menganggap bahwa sistem politik ideal adalah masa khulaurrasyidin yang berindikasi pada keterlibatan legalitas agama, maka kekhilafahan Ummayah tidak sah karena tidak memiliki legalitas keagamaan. Penciptaan perangkat Negara berupa hukum dan peraturan Negara atas kehendak pemimpin telah memecahkan monolitisme dan keunikan komunitas muslim awal.
Terkait dengan lahirnya Negara Bangsa yang menjadi permasalahan kekinian, maka golongan Sunni terbagi menjadi dua, diantara sebagian minoritas ingin mengembalikan sistem khulafaurrasyidin, sehingga pemahaman ini menjadi sumber radikalisme kontemporer. Sebaliknya sebagian pasrah dengan keadaan dan mendasari alasannya dengan keutamaan kemaslahatan untuk ummat.
Sebagaimana Sunni, dalam Syi’ah munculnya potensi radikalisme yang lahir dari pergulatan politik pasca Nabi, yaitu meyakini bahwa Ali sebagai khalifah pengganti Rasul dan khalifah seterusnya harus berdasarkan keturunan Ali. Setelah khalifah ke dua belas dinyatakan raib, maka kehalifahan diwakili kaum agamawan modern. Pada abad ke 17 muncul perdebatan ideologis, golongan tradisionalis beranggapan bahwa membuka pintu interpretasi sudah tidak diperlukan karena cukup berpegang pada tradisi. Sebaliknya, golongan pundamentalis meyakini bahwa ulama-ulama besar mempunyai hak untuk menginterpretasikan hukum agama.
Lebih keras dari kedua golongan di atas adalah hambalisme dan wahabisme, keduanya memberikan dua acuan sumber Islam yaitu al Quran dan Hadist saja, tanpa menerima konsensus (ijma) para ulama. Karena terlalu ketat, tidak jarang mereka terjebak dalam substansi teologinya sendiri. Diantaranya dari segi politik, dimana wahabisme tunduk terhadap sistem kerajaan yang sebenarnya tidak terdapat dalam al Quran maupun al Hadis.
Dalam perkembangannya, radikalisme kontemporer lebih banyak mengadopsi ideologi wahabisme ini, yaitu pemahaman yang ketat terhadap pengambilan sumber hukum dari al Quran dan Hadis. Gerakan puritan ini biasa diberi definisi gerakan salafi. Gerakan dan aliran ini dipelopori oleh Jamaluddin al Afghani dan diperbaharui oleh Muhamad Abduh, kemudian secara esensi dielaborasi oleh Hasan Al Banna dan Abu Ala al Maududi
Jika melihat fenomena radikalisme Islam di Indonesia, maka akan kita temukan dua indikasi. Pertama, terkait dengan kekuasan (politik) ansich yaitu menginginkan Indonesia berasaskan Islam secara kaffah. Kelompok ini menganggap khilafah Islamiyah sebagai bentuk politik Nabi ketika berada di madinah, sehingga secara mutlak dapat menjadi solusi di negara yang mayoritas Islam, kelompok ini mengkuatirkan akan pengkhianatan para pemimpin Islam.
Kedua, terkait dengan ajaran Islam yang harus diterapkan secara kaffah oleh muslimin. Dalam hal ini formalisasi syari’ah mutlak diperlukan dengan tujuan mengukuhkan sebuah hukum berlandasakan al Quran dan Sunnah. Akibatnya, tidak jarang mereka berinterpretasi bahwa hukum sosial yang dibuat berdasarkan kesepakatan bukanlah suatu hukum yang patut di ikuti, sebagaimana hukum yang berlaku di Indonesia.
Pada prakteknya, kedua kelompok ini mempunyai apiliasi yang sama, yaitu secara politik dan hukum, Negara Indonesia harus dikuasai oleh Islam. Mereka menolak sekularisme dan liberalisme barat. Diantara gerakan-gerakan Islam Radikal yang sparatis yaitu Darul Islam (Negara Islam Indonesia) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo sampai GAM di Aceh yang dipimpin Hasan Tiro.
Sedangkan fenomena terorisme saat ini, secara pribadi penulis mempunyai banyak prediksi. Disamping secara geneologi gerakan mereka tidak lepas dari pembahasan di atas, lebih dari itu secara khusus para teroris telah melampaui ajaran kemanusiaan umat Islam pada umumnya, yaitu penafsiran terhadap beberapa ayat al Quran tentang jihad fi sabilillah. Bagi mereka berjihad dengan pedang adalah fardlu ’ain sebagaimana diungkapkan adiknya Muchlas (Teroris kasus Bom Bali yang di eksekusi mati) dalam sebuah wawancara di televisi swasta.
Sebagai muslimin yang meyakini akan keutamaan agama Islam sebagai agama rahmat, pastinya akan prihatin atas fenomena gerakan Islam radikal di Indonesia, akan tetapi apakah sebuah keprihatinan akan membawa perubahan? Tentunya tidak, selama keprihatinan tersebut tersimpan dalam hati. Lalu bagaimanakah seharusnya sikap kita?