Kamis, 22 Maret 2012

Hak Asasi Minoritas


“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama”. Penggalan dari pasal 18 Kovenan Kebebasan Hak Sipil dan Politik ini menjadi landasan hukum kebebasan berkeyakinan bangsa Indonesia. Akan tetapi, Bagaikan api jauh dari panggang, ternyata Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM) hasil ratifikasi Hak Sipol Internasional belum dirasakan oleh seluruh warga Indonesia, khususnya kaum minoritas.
Sebagaimana dilaporkan Aliansi Masyarakat Adat (AMAN), bahwa pada awal tahun ajaran 2011, panitia pendaftaran menolak anak-anak sedulur sikep, Warga Samin Kudus menjadi siswa di SMP Negeri 2 Udaan Kudus, hanya karena mereka beragama Adam. Beruntung kepala sekolahnya masih memperbolehkan belajar di sana, meski mereka diwajibkan mengikuti mata pelajaran Agama Islam (PAI).<--more>
Mewakili nasib para penghayat lainnya, kasus tersebut langsung mendapatkan respon dari pemerintah. Gendro Nurhadi selaku Direktur Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (05/03/12), menyatakan bahwa tindakan sekolah tersebut bukan tanpa alasan, menurutnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) memang mengatur ketentuan setiap peserta didik harus mendapatkan pelajaran agama sesuai agamanya. Yaitu terdapat pada pasal 12 ayat (1) yang berbunyi “Setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Menurut Gendro, masalahnya, sebagaimana penganut kepercayaan lainnya, Warga Samin tidak menganggap ajarannya sebagai agama, akan tetapi kepercayaan.
Permasalahan Yuridis
Kemendikbud telah memaknai agama sebagai institusi resmi yang diakui negara, sedangkan kepercayaan lebih dikatagorikan adat istiadat dan budaya, bukan agama. Jika faktanya demikian, maka dapat menimbulkan permasalahan yuridis, dimana Undang-Undang Sisdiknas tidak dapat berjalan seirama dengan undang-undang di atasnya, ataupun undang-undang lain yang berlaku. Padahal, harmonisasi antar peraturan mutlak diperlukan, mengingat sistem hukum Indonesia yang positivistik hirarkis dan integral.
Jika pemaknaan agama dalam UU Sisdiknas dipisahkan dengan kepercayaan, maka akan terjadi kontradiksi. Pertama, pemaknaan terebut tidak sesuai dengan substansi Kovenan Sipol yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang HAM, dimana agama selalu disandingkan dengan kepercayaan yang berarti keduanya mempunyai kedudukan yang sama yaitu termasuk hak asasi manusia. Oleh sebab itu, apabila pihak sekolah tetap mengharuskan Warga Samin mengkuti Pendidikan Agama Islam (PAI) yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka, maka tindakan tersebut bisa dikatagorikan pelanggaran HAM.
Kedua, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dimana pada pasal 28E ayat (2) berbunyi” Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”. Pasal ini sekaligus menjelaskan ketentuan pasal sebelumnya yang menyatakan bahwa setiap pemeluk agama berhak atas pendidikan dan pengajaran sesuai agamanya. Lebih dari itu, bertentangan dengan UU Sisdiknas itu sendiri, yaitu pada pasal 11 ayat (1) yang menyatakan bahwa pemerintah menjamin pendidikan setiap warga negaranya tanpa diskriminatif.
Ketiga, bertentangan dengan keadilan masyarakat Indonesia secara umum, dimana setiap warga negara berhak atas perlakuan yang adil sesuai dengan pancasila. Ironis memang, dimana Warga Samin sebagai warga Negara Indonesia yang ikut memperjuangkan kemerdakaan dan memenuhi kewajibannya, harus mendapatkan perlakuan yang berbeda. Alih-alih pemerintah berkewajiban melindungi, justru sebaliknya mempersulit mereka dengan tidak membolehkan mencantumkan agamanya dalam KTP sampai berlaku diskriminatif dalam bidang pendidikan.
Merubah Paradigma
Dalam hal menghadapi masalah HAM, seharusnya pemerintah memperhatikan perannya sebagai pemangku tanggung jawab dengan tiga sikap. Pertama, kewajiban untuk menghormati, yang biasa disebut dengan kewajiban negatif yang menghendaki tindak omisi, yaitu keharusan negara untuk tidak ikut campur atau abstein terhadap dinikmatinya hak-hak atau kebebasan tetentu, termasuk diantaranya masalah moral dan agama. Kewajiban ini juga mencakup larangan terhadap negara untuk melakukan tindakan-tindakan yang dilarang oleh masyarakat internasioanal seperti penyikasaan, perbudakan penahanan dan penangkapan dengan sewenang-wenang.
Kedua, kewajiban melindungi, berarti negara harus melindungi semua individu dan kelompok masyarakat disaat kebebasan mereka dilanggar oleh pihak lain. Kewajiban melindungi juga berkaitan dengan pencegahan tindakan yang memungkinkan dilanggarnya hak atau diabaikannya hak-hak tertentu. Adapun yang menjadi objek biasanya adalah klompok-kelompok minoritas yang rentan terhadap diskriminasi.
Ketiga, kewajiban memenuhi atau memfasilitasi, dalam hal ini terkait dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya seperti hak pendidikan, pekerjaan, pangan, air bersih atau perumahan dan lain sebagainya. Oleh sebaba itu, kewajiban negara terhadap hak ini adalah untuk memenuhinya, bisa secara langsung ataupun bertahap, yang lazimnya menggunakan perencanaan.
Maka, untuk meminimalisir resiko pelanggaran HAM, perubahan paradigma pemerintah yang positivistik menjadi kontekstual dan sosiologis sangat diperlukan. Dalam kasus ini, dengan cara mengajak dialog para pihak terkait untuk mencapai persetujuan bersama, dan tidak menggunakan pendekatan undang-undang yang justru ditafsirkan salah.
Jika tidak terjadi dialog, maka pendekatan sosiologis ini dapat direalisasikan secara langsung, diantaranya dengan memberdayaan tokoh dan sesepuh adat sebagai pengajar agama bagi para penghayat. Rencana tersebut bisa juga menjadi jawaban terhadap kendala yang dihadapi sekolah-sekolah selama ini, yaitu kesulitan mendapatkan pengajar bagi para penghayat.
Lain dari itu, rencana di atas dapat mendatangkan beberapa keuntungan sekaligus bagi pemerintah, yaitu menjadi simbol tindakan kongkrit kepedulian pemerintah terhadap kaum minoritas serta menjalin kerjasama dalam pendidikan moral yang efektif bagi siswa didik. Sekaligus menjadi upaya dalam melestarikan budaya luhur bangsa Indonesia.
Di lain pihak, pemerintah memang berencana mengintruksikan pihak sekolah untuk mengajak berunding para tokoh dan sesepuh adat, akan tetapi selama paradigma mereka belum berubah, maka rencana tinggallah rencana.
Akhirnya, pemerintah seharunya sadar, bahwa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa sejak berdirinya. Oleh karenanya, sebuah keharusan untuk menjaga kebhinekaan tersebut, bukan sebaliknya, bersikap diskriminatif dan intoleran terhadap perbedaan.

Khitan Perempuan dalam Islam

Tinjauan al Quran dan hadist

Pada umumnya, ayat yang digunakan untuk melegalkan khitan bagi perempuan adalah surat an-Nahl ayat 123 yang berbunyi “Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. Sesuai dengan ayat ini, seluruh bentuk ritual yang dilakukan Nabi Ibrahim harus di ikuti oleh Nabi Muhammad Saw, tanpa terkecuali khitan yang tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan.

Pendapat di atas ternyata ditentang oleh sebagian besar para ulama ahli tafsir yang menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berkaitan dengan khitan, akan tetapi berkenaan dengan masalah-masalah pokok agama. Sebagaimana pendapat al Qurtubi (w. 671 H), bahwa ayat tersebut berkaitan dengan ketauhidan dan manasik haji. Begitupun menurut at Thobari (w. 923 M) bahwa ayat tersebut terkait dengan perintah Allah Swt kepada Nabi Muhammad untuk membebaskan diri dari penyembahan berhala.

Oleh karenanya, menurut Yusuf al Qardlawy, bahwa ulama yang menyatakan ayat ini berhubungan dengan khitan adalah mengada-ada. Karena ayat tersebut fokus terhadap ketentuan mengesakan Allah Swt, yaitu menjalankan dakwah ketauhidan dan menjauhi segala bentuk kemusyrikan. Lebih dari itu, hemat penulis, pemaknaan millah Ibrahim terhadap kekhususan kasus khitan untuk perempuan merupakan penafsiran yang positivistik dan menjenarilisir pemaknaan.

Dari tinjauan hadist, maka ditemukan dua hadits yang berkaitan dengan khitan bagi perempuan. Hadits pertama dari Ummi ‘Athiyyah al Anshariyah: ”Bahwa ada seorang perempuan juru khitan para perempuan di Madinah. Nabi Saw mengatakan kepadanya "Jangan berlebihan, karena ia (bagian yang dipotong) menyenangkan bagi perempuan (isteri) dan paling disukai suami. Pada riwayat lain Nabi mengatakan "potong ujungnya saja dan jangan berlebihan, karena ia sangat menyenangkan dan bagian yang disukai suami". (HR. Abu Daud).

Dari tinjauan sanad, hadis tersebut tidak hanya diriwayatkan oleh Abu Daud, akan tetapi oleh Imam Ahmad dan Imam al baihaqi. Menurut ahli hadits Zain al Din al Iraqi hadits tersebut lemah, bahkan Abu Daud sendiri menyatakan bahwa hadis tersebut lemah (tidak kuat). Hal itu karena Muhammad bin Hasan salah saeorang perawi hadis ini tidak dikenal (majhul).

Kedua, Hadits disampaikan Abu Hurairah “Nabi berkata:”Khitan adalah sunnah bagi laki-laki dan suatu kehormatan bagi perempuan”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqi. Menurut Imam al Syaukani hadits ini dha’if (lemah, tidak valid), karena Hajjaj bin Artha’ah, perawinya, seorang mudallas, yakni sering mengelirukan riwayat hadits. Para ahli hadits dan ahli fiqh mengatakan hadits yang disampaikan seorang mudallas tidak dapat diterima sama sekali yakni tidak dapat dijadikan argument hukum.

Tinjuan Fiqih

Perihal masalah khitan bagi perempuan, para ulama madzhab berbeda pendapat. Menurut masyoritas pengikut madzhab Hanafi dan Malaiki, khitan untuk laki-laki hukumnya sunnah muakkad sedangkan untuk perempuan hukumnya penghormatan, yaitu menggoreskan sedikit di atas klitoris dan disunnahkan tidak berlebihan supaya istri tetap merasakan kenikmatan. Sedangkan mayoritas pengikut Syafi’I mewajibkan khitan bagi laki-laki maupun perempuan. Meskipun begitu, tidak semua pengikut Syafi’i setuju, karena sebagian ada yang berpendapat bahwa hal tersebut tidak wajib. Adapun pendapat Imam Ahamad, khitan untuk laki-laki wajib sedangkan untuk perempuan merupakan penghormatan.

Dari perbedaan pendapat di atas, mayoritas ulama tidak sampai mewajibkan khitan untuk perempuan. Lebih dari itu, makna penghormatan dalam hadis yang dijadikan landasan hukum sangat multi tafsir, karena Kata Makrumah bukanlah kata yang biasa dipakai untuk landasan hukum dalam fiqih tidak seperti wajib atau haram, olah karenanya sebagian ulama berbeda pendapat, ada yang memaknai sunnah bahkan mubah.

Dalam menjelaskan kata Makrumah (penghormatan pada perempuan), Yusuf al Qordlawy menjelaskan, bahwa kata tersebut merujuk kepada perbuatan yang dianggap baik dalam praktek masyarakat. Oleh karenanya ketentuan tersebut sangat relatif, yaitu bisa berubah-ubah. Kebiasaan yang dianggap baik sekarang, belum tentu baik di masa yang akan datang dan sebaliknya.

Dalam hal ini, penulis mencoba mendekati permasalahan tersebut dengan kaidah fiqih “alhukmu yaduru ma’a illatin wujudan wa’adaman” yang memberikan pengertian bahwa hukum itu selulu diiringi dengan alasan (‘illat) atau sebab musabab. Termasuk dalam permasalahan khitan untuk perempuan, yang bisa dikatagorikan masalah ta’akuli dimana kedudukannya dapat dilihat dari dimensi sosialnya dengan cara meneliti aspek sejarah maupun perkembangan keilmuan.

Kebiasaan khitan sebenarnya telah lama berlaku, mulai dari sebelum masehi, zaman Nabi Ibrahim sampai sekarang. Dalam hal khitan laki-laki semua setuju bahwa dapat mendatangkan kemanfaataan, sehingga hukumnya dapat mengikuti ketentuan tersebut. Adapun untuk perempuan masih dipertanyakan, hal ini tidak lepas dari hadits Nabi yang menyatakan Makrumah bagi perempuan.

Jika hadis tersebut ditelisik lebih dalam, perlu kiranya pandangan holistik realista sosial pada masa itu. Adanya kata “potonglah sedikit saja” dalam hadist nabi di atas, maka dapat diprediksikan bahwa tradisi khitan bagi perempuan telah ada pada masa sebelum itu, dengan cara memotong klitoris perempuan secara penuh. Oleh karenanya Nabi mencoba meminimalisir hal tersebut, tentunya tidak dengan kata-kata yang menunjukan langsung, aka tetapi dengan kata makrumah. Proses transformasi gradual seperti itu sebenarnya talah dipraktekan nabi untuk kasus-kasus yang lain sebagaimana pengharaman khamer yang dilakukan secara bertahap.

Lain dari itu, kalimat dalam hadis yang berbunyi “karena ia (klitoris) sangat menyenangkan (perempuan)” menunjukan bahwa klitoris mempunyai peranan penting dalam seksualitas perempuan. Maka himbauan Nabi untuk memotong sedikit saja merupakan bahasa persuasif yang harus dimengerti secara mendalam, yang pada dasarnya praktek seperti itu harus dihentikan.

Dengan menggunakan pendekatan maqhosidussyari’ah, yaitu berkaitan dengan khifdzunnasl, maka khitan perempuan harus dibuktikan secara medis. Apalagi jika kegiatan tersebut justeru mendatangkan kemadaratan daripada kemaslahatan, tentunya kita tahu harus bagaimana?

Terkait hal tersebut, permasalahan mashlahah dalam khitan perempuan memang sangat bergantung dari ketentuan medis dan pandangan masyarakat umum. Sebagai contoh, khitan bagi perempuan adalah bagian dari penegakan moral, karena ada prediksi masyarakat bahwa perempuan akan menjadi liar (nakal) apabila tidak dilakukan khitan. Masalah ini harus dibuktikan secara empirik, karena pada dasarnya tidak ada kaitan antara khitan dan kenakalan perempuan.

Konteks sosial seperti itu, sebenarnya merupakan warian budaya patriarki, dimana laki-laki harus di atas perempuan dalam segala hal. Sehingga, berbagai cara akan dilakukan untuk tujuan tersebut termasuk dalam masalah seksuaitas dengan memotong, melukai, menggores atau apaun namanya. Wallahu’alam bisshowab.

Memaknai Kirab Budaya

Apa yang telah dilakukan oleh Joko Widodo (Jokowi) memang pantas di apresiasi. Maraknya momen kirab budaya yang diadakan oleh Pemkot Solo telah membawa angin kebijaksanaan bagi paradigma masyarakat Solo. Lihat saja, ketika Solo ditimpa isu terorisme, kirab budaya telah meredam kerisauan warga Solo, bahkan karenanya, isu tersebut tidak mempengaruhi tamu kehormatan luar negeri untuk berkumpul di Solo, sampai ketika ada momen pembangunan super market (Mall), kirab budaya menyelamatkan pasar tradisional yang menjadi identitas warga Solo.

Rasa memiliki budaya adalah kunci dari keberhasilan warga Solo. Dengan identitas ini, warga Solo bangga akan adat istiadat dan daerahnya, sehingga mereka merespon positif semua kegiatan kebudayaan termasuk kirab budaya. Secara tidak langsung, kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut telah menumbuhkan rasa kejawaan (kejawen) yang mengharuskan mereka menjadi orang yang sopan, santun, lemah lembut, gotong royang dan menghargai sesama. Tidak bisa dipungkiri, justeru dengan adat istiadat seperti itulah mereka eksis ditengah serangan radikalisme dan kapitalisme.

Perlu dicontoh oleh kepala daerah lainnya, yaitu dengan menjadikan budaya lokal sebagai kekuatan dalam menghadapi perasingan global dan meredam konflik internal. Tidak hanya sebagai karya seni yang telah lapuk dimakan zaman, Jokowi menghidupkan kembali budaya sebagai pijakan nilai luhur para nenek moyang yang perlu digali dan diamalkan, yaitu ritual mengembalikan nilai keseimbangan antara hubungan manusia dengan tuhan dan manusia dengan alam.

Di tengah arus globalisasai, dimana masyarakat indonesia telah kehilangan jati diri sebagai warga negara yang berbudaya, kirab budaya dapat menjadi alternatif pragmatis sebagai obat penyembuh amnesia tersebut. Lain dari itu, Sebagaimana pepatah jawa “alon-alon asal kelakon” telah memberikan inspirasi untuk menjadikan kirab budaya sebagai langkah awal membentengi budaya nasional, yaitu menyusup dalam maraknya budaya populer, hedonis dan kapitalis.

Meminjam istilah Samuel Huntington, bahwa saat ini Indonesia berada dalam area perang peradaban. Disaat Barat dan Timur tengah berebut pengaruh, Indonesia sebagai negara dunia ketiga menjadi objek bancaan mereka. Dengan kekayaan alam yang berlimpah, mereka ingin menancapkan pengaruhnya di negeri kita tercinta. Berbeda dengan cara kuno (invasi militer), mereka menjadikan peradaban sebagai alat untuk menjajah dan menguasi. Menurutnya, peradaban sendiri mencakup teritorial sebuah negara, atau warga negara (civilization), dimana salah satu unsurnya adalah budaya, yang sekaligus menjadi akar kehidupan sebuah peradaban.

Jika budaya diartikan sebagai simbol, maka kirab budaya telah menjadi bagian terpenting dari peradaban. Simbol budaya ini, diharapkan dapat memberikan makna lebih dalam yaitu way of life. Tidak seperti ritual-ritual budaya lainnya, kirab budaya dapat dengan efisien mempengaruhi masyarakat tanpa harus minder jika dianggap kuno dan tidak zamani, karena disamping mempunyai nilai seni, kirab juga memberikan nuansa intertainment yang digandrungi masyarakat saat ini. Lain dari itu, kegiatan ini sangat memungkinkan untuk diadakan setiap daerah dengan sesuai kebutuhan dan bentuk budaya setempat.

Apabila ini terus dipertahankan, tentu hasilnya tidak hanya Kota Solo yang berseri dan berbudaya, lebih dari itu akan mucul identitas peradaban nusantara. Maka untuk mewujudkannya, dibutuhkan keterlibatan dan peran daerah-daerah lain, yaitu dengan melestarikan warisan budayanya. Setiap daerah di Indonesia diharapkan dapat menampilkan wajah budayanya di depan publik, caranya dengan memperbanyak kegiatan kebudayaan. Kita tahu bahwa setiap daerah di Indonesia mempunyai ciri khasnya masing-masing, mulai dari Aceh dengan Tarian Saman Meuseukat sampai Irian Jaya dengan Tari Musyohnya, dimana semua itu dapat menjadi modal untuk di eksibisi.

Efek Sosial Kirab Budaya

Sebagai percontohan, kirab budaya Kota Solo telah memberikan efek positif terhadap kehidupan sosial warganya, sekaligus menjadi sarana dalam menumbuhkan nilai-nilai lokal (local wisdom) kota ini. Pada saat kirab, seluruh warga tumpah ruah tanpa memandang siapa dan dari mana. Fenomena ini mengindikasikan nilai toleransi yang tinggi sekaligus kesadaran akan persatuan dan kesatuan atas nama budaya Solo. Tidak mengherankan apabila kirab budaya selalu dijadikan alat perekat kebersamaan masyarakat Solo.

Sebagai usaha melanggengkan kegiatan ini, untuk tahun 2012 Jokowi telah mengagendakan kurang lebih 48 kegiatan kebudayaa. Dengan maraknya kegiatan tersebut, Jokowi ingin menunjukan bahwa Solo dapat menjadi trend setter budaya nasional, sekaligus menjadikan budaya sebagai sarana menumbuhkan rasa nasionalisme.

Lain dari itu, di Kota Solo, budaya tidak hanya befungsi sebagai perisai dari serangan faham luar negeri, akan tetapi sekaligus dijadikan alat pemersatu. Fenomena real di Solo, menurut Badan Pusat Statistika Kota Solo tahun 2010, penduduk daerah ini berjumlah 499.337 jiwa. Dari sumber lain, penduduk Kota Solo terbagi dari 400 ribu orang beragama Islam, 74 ribu beragama Katolik, 77 ribu beragama Kristen, 4 ribu beragama Budha, 100 orang beragama Hindu dan 80 agama kepercayaan. Dari data tersebut menunjukan bahwa Kota Solo sangat beragam, akan tetapi dengan dasar kesamaan budaya, ternyata penduduk Kota Solo dapat hidup berdampingan dengan harmonis.

Perlu kita sadari, bahwa fenomena perpecahan masyarakat Indonesia saat ini lebih banyak disebabkan oleh perbedaan agama dan keyakinan daripada adat istiadat dan kebudayaan. Sehingga budaya bisa dijadikan jalan alternatif untuk meminimalisir perpecahan tersebut.

Sebagaimana Kota Solo, Negara Indonesia pun dapat bercermin atas keberhasilan Kota ini, Yaitu dengan cara mendukung berkembangnya budaya daerah. Berbagai usaha dapat dilakukan diantaranya dengan kirab budaya nasional. Usaha tersebut sekaligus sebagai upaya menumbuhkan rasa nasionalisme, karena dengan mencintai budayanya, maka seseorang sekaligus mencintai bangsanya. Akhirnya, perlu keterlibaan semua pihak dalam menumbuhkan budaya nasional, mulai dengan menghargai budaya leluhur sampai menumbuhkan terhadap kesadaran berbangsa dan bernegara.