Sabtu, 01 Oktober 2011

Ayo Sadar Nilai Pancasila

Sebagai orang Indonesia, sebuah keniscayaan apabila tidak bisa menghapal pancasila. Tanpa terkecuali status social atau ideologi apapun, dipastikan semuanya mengetahui akan pancasila sebagai dasar Negara. tidak ada alasan bagi orang Indonesia untuk tidak mngetahui Pnacasila, meskipun dalam kenyataanya pasti ada yang tidak mengetahui pancasila.
Yang menjadi permasalahan sekarang, pancasila yang terdiri sila-sila tersebut ternyata tidak diamalkan, yaitu nilai-niainya tidak sampai merasuk kepada hati sanubari orang Indonesia. lalu apalah artinya sebuah teks jika tidak mampu memberikan pengaruh perubahan. Akan tetapi, meskipun begitu, kita tidak bisa serta merta menyalahkan teks yang telah ditetapkan dengan nama pancasila. Karena jangankan teks formal seperti pancasila, terkadang dengan nama sendiri saja tidak sadar. Sebagai contoh Nama solihin tapi tidak sholeh, nama nazarudin tapi tidak berprilaku sesuai dengan agama, dan nama-nama lainnya yang tidak bisa disebut satu-persatu. Lebih parah dari itu, pada bacaan yang bersifat keimanan (ibadah) yang katanya pedoman hidup sebagaimana bacaan dalam sholat, tidak banyak orang indonesia yang sadar dan faham atas apa yang mereka baca.
Fenomena tersebut harus dicari penyebabnya. Implikasinya jelas, bahwa tidak ada artinya sebuah Negara apabila tidak ada aturan bersama, dan aturan bersama tidak ada artinya apabila tidak ada yang mau mentaati. Contoh konkrit adalah pancasila dan undang-undang dasar yang hanya menjadi teks mati. Sehingga, jangan dulu berbicara undang-undang yang menyatakan Negara ini adalah Negara hukum, apabila masyarakatnya saja belum sadar hukum (belum siap menjalankan aturan hukum).
Dalam hal ini, analisis sosial mutlak diperlukan meskipun masih bersifat spekulatif. Diantaranya, kemungkinan besar orang Indonesia mempunyai kultur yang bergam dan tidak biasa formal. Dalam sejarah perkembangannya, Hampir seluruh budaya suku di Indonesia berbasis paguyuban dan kekeluargaan. Hukum mereka lahir dari norma hukum yang berkembang pada suku atau masayarakat mereka sendiri. Jikapun ada peraturan yang bersifat intrukstif, maka aturan tersebut berasal dari raja atau kepala suku karismatik yang secara sosial, masyarakat mempercayakan nasib mereka kepadanya.
Sebuah keniscayaan apabila berbicara Negara, maka seluruh perbadaan harus dilebur. Padahal, peleburan inilah yang menjadi awal permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia, mulai dari deklarasi proklamasi oleh Soekarna Hatta sampai sekarang. Bisa dibilang, individu orang Indonesia masih memikirkan kepentingan golongan mereka masing-masing. Belum ada sebuah felling memikirkan kepentingan sekala besar yaitu negara. dalam hal ini, filling tersebut adalah Nasionalisme.
Jika merunut dari permaslahan di depan, yaitu kurang sadarnya orang indonesia terhadap aturan hukum Nasional, bisa juga disebabkan dari tidak biasanya orang Indonesia dalam menerima aturan dari luar diri atau kelompok mereka sendiri. Loginya jelas, dalam kelompok sendiri, mereka dapat merasakan secara langsung pengaruh dan keuntungan yang mereka dapatkan. Dalam kata lain, antara hukum yang berlaku dan pentaatan masyarakat terjadi simbiosis mutualisme konkrit. Sedangkan dalam sekala Nasional, hal tersebut jarang mereka rasakan.
Sebagai solusi yang tidak konkrit, ada dua jalur alternatif dari penulis. Pertama, dengan menumbuhkan kesadaran hukum (teks) dari setiap orang Indonesia, dengan jalan menciptakan sebuah aturan yang sesuai dengan nilai-nilai dasar mereka. Yang akhirnya meskipun tanpa hukum tertulis pun aturan telah dapat berjalan.
Terkait hal tersebut, tentunya akan mendapatkan kesulitan karena Indonesia mempunyai berbagai corak Agama dan budaya. Akan tetapi bisa diantisipasi dengan menjadikan kelemahan sebagai kekuatan, yaitu dengan menjadikan lembaga Agama dan budaya gerbang awal budaya taat hukum tekstual sekaligus menumbuhkan nasionalisme. Yang perlu digaris bawahi, bahwa budaya sadar hukum adalah tergantung menetukan sejauh mana kulaitas intelektual orang Indonesia.
Kedua, usaha pemerintah dalam menyadarkan budaya taat hukum orang Indonesia dengan simbiosis mutualisme. Yaitu dengan menumbuhkan perasaan bahwa mereka diperhatikan oleh pemerintah, sebagai contoh memberikan kesejateraan yang merata, khususnya bagi mereka yang masih tertinggal. Dengan begitu, masyarakat akan berhtang budi kepada pemerintah yang akhirnya timbul kesadaran taat hukum tanpa adanya sebuah paksaan.

Tidak ada komentar: