Minggu, 02 Oktober 2011

Relatifitas Hukum

Relatifitas Hukum
Berawal dari diskusi kecil antara senior dan junior. Senior, ”dek pada dasarnya manusia itu buruk lho”. Karena junior baru ikut talk shaw agama konghucu (meskipun tidak beragama itu) maka dia berkata, ”kata Nabi Kongzi manusia itu tadinya baik lho”. Lalu diskusi berkembang kepada permasalahan yang sebelumnya telah dibahas, yaitu tentang aturan atau hukum yang berlaku sebagai alat untuk menekan ego manusia yang tadinya buruk.
Junior, ”lho bagaimana bisa menjadi sebagai alat penekan ego?”. Menurut Junior hal tersebut tidak benar, karena ada hukum yang berlaku untuk melindungi dari kebiasaan sebuah kelompok masyarakat. Sehingga tidak menekan ego, akan tetapi melindungi ego (keinginan naluri) tersebut. dalam hal ini, hukum bertujuan untuk sebuah kebahagiaan, maka menurutnya lahirlah namanya aliran hedonisme.
Pendapatnya tersebut bukan berarti tanpa dasar, karena menurut pengetahuannya, aturan dibuat dengan berbagai tujuan, diantaranya sebagai alat paksa dan perubah (sosial enginering), lainnya sebagai pelindung dari apa yang telah berlaku pada diri masyarakat itu sendiri. Sehingga aturan (hukum) dapat dapat bersifat fositif aupun negatif.
Jika diperdalam, pada dasarnya pemasalahan ini bermula dari ambiguitas penegertian antara norma, moral dan nilai (jika ingin mendasari bahwa hukum berasal dari hal tersebut). Menurut Senior, bahwa aturan yang berlaku pada masarakat menjadi titik tolak nilai kebaikan yang diakui. Alasannya jelas bahwa ego itu ditekan oleh norma dan aturan dalam masyarakat, sehingga norma dan aturan menjadi super hero. Berbeda dengan si junior, menurutnya tidak semua norma yang diberlakukan itu mempunyai sifat kebaikan (nilai baik), yaitu apabila norma tersebut diartikan sebagai peraturan. Dalam hal ini, mungkin dia masih meyakini akan adanya kebenaran yang relatif.
Untuk memperjelas masalah definisi norma, moral dan nilai, maka junior mencoba mengingat kembali pengetahuan hasil diskusinya bersama teman-teman sekelasnya. Si A berkata ”moral adalah kumpulan dari norma-norma dan nilai”. Si B berkata ”itu terbalik, yang benar bahwa norma adalah kumpulan dari moral-moral dan nilai” dia beralasan bahwa, seorang dapat menentukan sesuatu itu baik harus didasarkan pada penilaian subjektif (personal) akan kebaikan yang diyakininya. dia sendiri setuju dengan pendapatnya Imanuel Khan.
Si A menambahi dengan sebuah referensi ”norma itu adalah nilai-nilai yang ada pada diri masing-masing, ketika itu sudah disepakati maka itu disebut dengan moral”. Karena dia memakai referensi, akhirnya ditetapkan definisi tersebut. jika ditelusuri, dapat dilihat bahwa nilai baik dan baruk menjadi bahan dasar terjadinya norma dan moral. Dari sanalah muncul aturan yang bertujuan untuk menegakan kebaikan dan menghukum kejahatan. Jika melihat realitanya, memang hukum itu tidak bebas nilai, yang berarti si Senior dianggap benar (meskipun debatebel).
Dari diskusi sekarang menjadi debat. Pada saat ini, permasalahan fokus pada pemberlakuan hukum itu sendiri. Menurut junior (masih ngotot) bahwa dari adanya berbagai tujuan hukum seperti keadilan, kepastian dan kemanfaatan, menunjukan bahwa hukum itu reltif dilihat dari siapa yang membuat. Bisa jadi orang yang membuat aturan tidak untuk sebuah kebaikan, akan tetapi untuk tujuan pribadi (egoisteis) sehingga aturan tersebut menjadi buruk dan bermasalah. Dalam hal ini, hukum (aturan) menjadi sebuah kejelekan tidak sebaliknya.
Senior ”wah kamu itu terlalu berfikir holistik, saat ini kita itu harus fokus terhadap realita permasalahan”. Menurutnya, teori-teori dari berbagai tokoh harus dijadikan sebagai pengantar dalam menjawab permaslahan. Untuk sementara pendapat tersebut diterima oleh junior. Sekaligus dia bertanya, ”lalu apa permaslahannya?”.
”Kita lihat kondisi Indonesia saat ini, meskipun telah banyak undang-undang ditelurkan, pada kenyataannya Indonesia belum merasakan perubahan yang signifikan, lalu apa gunanya pemerintah dan undang-undang tersebut”. menurutnya, aturan-aturan pemerintah justru mengikis kebaikan-kebaikan dari masyarakat itu sendiri, dengan alasan bahwa aturan tersebut tidak bersal dari bawah tetapi top down. Masih menurutnya, fenomena in semua dikarenakan Indonesia menjalankan sistem demokrasi yang tidak sempurna. ”kita bisa lihat, masa demokrasi harus kontra terhadap kapitalisme, dia menambahi bahwa dengan demokrasi, adanya struktur kasta dalam masyarakat adalah sebuah keneiscayaan”.
Permaslahan semakin melebar. Menanggapi hal tersebut Junior langsung memberikan sanggahan. ”maaf Senior, perlu kita ketahui bahwa asas Negara kita memang demokrasi, semenjak zaman Soekarno yang dimulai dengan sistem demokrasi terpimpin sampai saat ini dimana demokrasi tidak diketahui modelnya”. Dia (junior) menambahkan, bahwa dalam melihat permasalahan global, maka tidak harus ada dikotomi antar pengetahuan. Sebagai contoh adanya pembedaan antara demokrasi politik dan ekonomi.
Senior (dengan ngotot), ”tidak hanya dalam hal itu, pada dasarnya, orang indonesia belum siap untuk diadakan pemilu langsung”. Menurutnya masyarakt Indonesia masih bodoh-bodoh sehingga apabila memilihpun akan lebih banyak madarat dari pada maslahat. Meskipun begitu, Senior tidak serta merta setuju dengan bentuk perwakilan dan sebagainya. To be continue.

Tidak ada komentar: