Kamis, 22 Maret 2012

Memaknai Kirab Budaya

Apa yang telah dilakukan oleh Joko Widodo (Jokowi) memang pantas di apresiasi. Maraknya momen kirab budaya yang diadakan oleh Pemkot Solo telah membawa angin kebijaksanaan bagi paradigma masyarakat Solo. Lihat saja, ketika Solo ditimpa isu terorisme, kirab budaya telah meredam kerisauan warga Solo, bahkan karenanya, isu tersebut tidak mempengaruhi tamu kehormatan luar negeri untuk berkumpul di Solo, sampai ketika ada momen pembangunan super market (Mall), kirab budaya menyelamatkan pasar tradisional yang menjadi identitas warga Solo.

Rasa memiliki budaya adalah kunci dari keberhasilan warga Solo. Dengan identitas ini, warga Solo bangga akan adat istiadat dan daerahnya, sehingga mereka merespon positif semua kegiatan kebudayaan termasuk kirab budaya. Secara tidak langsung, kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut telah menumbuhkan rasa kejawaan (kejawen) yang mengharuskan mereka menjadi orang yang sopan, santun, lemah lembut, gotong royang dan menghargai sesama. Tidak bisa dipungkiri, justeru dengan adat istiadat seperti itulah mereka eksis ditengah serangan radikalisme dan kapitalisme.

Perlu dicontoh oleh kepala daerah lainnya, yaitu dengan menjadikan budaya lokal sebagai kekuatan dalam menghadapi perasingan global dan meredam konflik internal. Tidak hanya sebagai karya seni yang telah lapuk dimakan zaman, Jokowi menghidupkan kembali budaya sebagai pijakan nilai luhur para nenek moyang yang perlu digali dan diamalkan, yaitu ritual mengembalikan nilai keseimbangan antara hubungan manusia dengan tuhan dan manusia dengan alam.

Di tengah arus globalisasai, dimana masyarakat indonesia telah kehilangan jati diri sebagai warga negara yang berbudaya, kirab budaya dapat menjadi alternatif pragmatis sebagai obat penyembuh amnesia tersebut. Lain dari itu, Sebagaimana pepatah jawa “alon-alon asal kelakon” telah memberikan inspirasi untuk menjadikan kirab budaya sebagai langkah awal membentengi budaya nasional, yaitu menyusup dalam maraknya budaya populer, hedonis dan kapitalis.

Meminjam istilah Samuel Huntington, bahwa saat ini Indonesia berada dalam area perang peradaban. Disaat Barat dan Timur tengah berebut pengaruh, Indonesia sebagai negara dunia ketiga menjadi objek bancaan mereka. Dengan kekayaan alam yang berlimpah, mereka ingin menancapkan pengaruhnya di negeri kita tercinta. Berbeda dengan cara kuno (invasi militer), mereka menjadikan peradaban sebagai alat untuk menjajah dan menguasi. Menurutnya, peradaban sendiri mencakup teritorial sebuah negara, atau warga negara (civilization), dimana salah satu unsurnya adalah budaya, yang sekaligus menjadi akar kehidupan sebuah peradaban.

Jika budaya diartikan sebagai simbol, maka kirab budaya telah menjadi bagian terpenting dari peradaban. Simbol budaya ini, diharapkan dapat memberikan makna lebih dalam yaitu way of life. Tidak seperti ritual-ritual budaya lainnya, kirab budaya dapat dengan efisien mempengaruhi masyarakat tanpa harus minder jika dianggap kuno dan tidak zamani, karena disamping mempunyai nilai seni, kirab juga memberikan nuansa intertainment yang digandrungi masyarakat saat ini. Lain dari itu, kegiatan ini sangat memungkinkan untuk diadakan setiap daerah dengan sesuai kebutuhan dan bentuk budaya setempat.

Apabila ini terus dipertahankan, tentu hasilnya tidak hanya Kota Solo yang berseri dan berbudaya, lebih dari itu akan mucul identitas peradaban nusantara. Maka untuk mewujudkannya, dibutuhkan keterlibatan dan peran daerah-daerah lain, yaitu dengan melestarikan warisan budayanya. Setiap daerah di Indonesia diharapkan dapat menampilkan wajah budayanya di depan publik, caranya dengan memperbanyak kegiatan kebudayaan. Kita tahu bahwa setiap daerah di Indonesia mempunyai ciri khasnya masing-masing, mulai dari Aceh dengan Tarian Saman Meuseukat sampai Irian Jaya dengan Tari Musyohnya, dimana semua itu dapat menjadi modal untuk di eksibisi.

Efek Sosial Kirab Budaya

Sebagai percontohan, kirab budaya Kota Solo telah memberikan efek positif terhadap kehidupan sosial warganya, sekaligus menjadi sarana dalam menumbuhkan nilai-nilai lokal (local wisdom) kota ini. Pada saat kirab, seluruh warga tumpah ruah tanpa memandang siapa dan dari mana. Fenomena ini mengindikasikan nilai toleransi yang tinggi sekaligus kesadaran akan persatuan dan kesatuan atas nama budaya Solo. Tidak mengherankan apabila kirab budaya selalu dijadikan alat perekat kebersamaan masyarakat Solo.

Sebagai usaha melanggengkan kegiatan ini, untuk tahun 2012 Jokowi telah mengagendakan kurang lebih 48 kegiatan kebudayaa. Dengan maraknya kegiatan tersebut, Jokowi ingin menunjukan bahwa Solo dapat menjadi trend setter budaya nasional, sekaligus menjadikan budaya sebagai sarana menumbuhkan rasa nasionalisme.

Lain dari itu, di Kota Solo, budaya tidak hanya befungsi sebagai perisai dari serangan faham luar negeri, akan tetapi sekaligus dijadikan alat pemersatu. Fenomena real di Solo, menurut Badan Pusat Statistika Kota Solo tahun 2010, penduduk daerah ini berjumlah 499.337 jiwa. Dari sumber lain, penduduk Kota Solo terbagi dari 400 ribu orang beragama Islam, 74 ribu beragama Katolik, 77 ribu beragama Kristen, 4 ribu beragama Budha, 100 orang beragama Hindu dan 80 agama kepercayaan. Dari data tersebut menunjukan bahwa Kota Solo sangat beragam, akan tetapi dengan dasar kesamaan budaya, ternyata penduduk Kota Solo dapat hidup berdampingan dengan harmonis.

Perlu kita sadari, bahwa fenomena perpecahan masyarakat Indonesia saat ini lebih banyak disebabkan oleh perbedaan agama dan keyakinan daripada adat istiadat dan kebudayaan. Sehingga budaya bisa dijadikan jalan alternatif untuk meminimalisir perpecahan tersebut.

Sebagaimana Kota Solo, Negara Indonesia pun dapat bercermin atas keberhasilan Kota ini, Yaitu dengan cara mendukung berkembangnya budaya daerah. Berbagai usaha dapat dilakukan diantaranya dengan kirab budaya nasional. Usaha tersebut sekaligus sebagai upaya menumbuhkan rasa nasionalisme, karena dengan mencintai budayanya, maka seseorang sekaligus mencintai bangsanya. Akhirnya, perlu keterlibaan semua pihak dalam menumbuhkan budaya nasional, mulai dengan menghargai budaya leluhur sampai menumbuhkan terhadap kesadaran berbangsa dan bernegara.



Tidak ada komentar: