Kamis, 22 Maret 2012

Khitan Perempuan dalam Islam

Tinjauan al Quran dan hadist

Pada umumnya, ayat yang digunakan untuk melegalkan khitan bagi perempuan adalah surat an-Nahl ayat 123 yang berbunyi “Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. Sesuai dengan ayat ini, seluruh bentuk ritual yang dilakukan Nabi Ibrahim harus di ikuti oleh Nabi Muhammad Saw, tanpa terkecuali khitan yang tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan.

Pendapat di atas ternyata ditentang oleh sebagian besar para ulama ahli tafsir yang menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berkaitan dengan khitan, akan tetapi berkenaan dengan masalah-masalah pokok agama. Sebagaimana pendapat al Qurtubi (w. 671 H), bahwa ayat tersebut berkaitan dengan ketauhidan dan manasik haji. Begitupun menurut at Thobari (w. 923 M) bahwa ayat tersebut terkait dengan perintah Allah Swt kepada Nabi Muhammad untuk membebaskan diri dari penyembahan berhala.

Oleh karenanya, menurut Yusuf al Qardlawy, bahwa ulama yang menyatakan ayat ini berhubungan dengan khitan adalah mengada-ada. Karena ayat tersebut fokus terhadap ketentuan mengesakan Allah Swt, yaitu menjalankan dakwah ketauhidan dan menjauhi segala bentuk kemusyrikan. Lebih dari itu, hemat penulis, pemaknaan millah Ibrahim terhadap kekhususan kasus khitan untuk perempuan merupakan penafsiran yang positivistik dan menjenarilisir pemaknaan.

Dari tinjauan hadist, maka ditemukan dua hadits yang berkaitan dengan khitan bagi perempuan. Hadits pertama dari Ummi ‘Athiyyah al Anshariyah: ”Bahwa ada seorang perempuan juru khitan para perempuan di Madinah. Nabi Saw mengatakan kepadanya "Jangan berlebihan, karena ia (bagian yang dipotong) menyenangkan bagi perempuan (isteri) dan paling disukai suami. Pada riwayat lain Nabi mengatakan "potong ujungnya saja dan jangan berlebihan, karena ia sangat menyenangkan dan bagian yang disukai suami". (HR. Abu Daud).

Dari tinjauan sanad, hadis tersebut tidak hanya diriwayatkan oleh Abu Daud, akan tetapi oleh Imam Ahmad dan Imam al baihaqi. Menurut ahli hadits Zain al Din al Iraqi hadits tersebut lemah, bahkan Abu Daud sendiri menyatakan bahwa hadis tersebut lemah (tidak kuat). Hal itu karena Muhammad bin Hasan salah saeorang perawi hadis ini tidak dikenal (majhul).

Kedua, Hadits disampaikan Abu Hurairah “Nabi berkata:”Khitan adalah sunnah bagi laki-laki dan suatu kehormatan bagi perempuan”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqi. Menurut Imam al Syaukani hadits ini dha’if (lemah, tidak valid), karena Hajjaj bin Artha’ah, perawinya, seorang mudallas, yakni sering mengelirukan riwayat hadits. Para ahli hadits dan ahli fiqh mengatakan hadits yang disampaikan seorang mudallas tidak dapat diterima sama sekali yakni tidak dapat dijadikan argument hukum.

Tinjuan Fiqih

Perihal masalah khitan bagi perempuan, para ulama madzhab berbeda pendapat. Menurut masyoritas pengikut madzhab Hanafi dan Malaiki, khitan untuk laki-laki hukumnya sunnah muakkad sedangkan untuk perempuan hukumnya penghormatan, yaitu menggoreskan sedikit di atas klitoris dan disunnahkan tidak berlebihan supaya istri tetap merasakan kenikmatan. Sedangkan mayoritas pengikut Syafi’I mewajibkan khitan bagi laki-laki maupun perempuan. Meskipun begitu, tidak semua pengikut Syafi’i setuju, karena sebagian ada yang berpendapat bahwa hal tersebut tidak wajib. Adapun pendapat Imam Ahamad, khitan untuk laki-laki wajib sedangkan untuk perempuan merupakan penghormatan.

Dari perbedaan pendapat di atas, mayoritas ulama tidak sampai mewajibkan khitan untuk perempuan. Lebih dari itu, makna penghormatan dalam hadis yang dijadikan landasan hukum sangat multi tafsir, karena Kata Makrumah bukanlah kata yang biasa dipakai untuk landasan hukum dalam fiqih tidak seperti wajib atau haram, olah karenanya sebagian ulama berbeda pendapat, ada yang memaknai sunnah bahkan mubah.

Dalam menjelaskan kata Makrumah (penghormatan pada perempuan), Yusuf al Qordlawy menjelaskan, bahwa kata tersebut merujuk kepada perbuatan yang dianggap baik dalam praktek masyarakat. Oleh karenanya ketentuan tersebut sangat relatif, yaitu bisa berubah-ubah. Kebiasaan yang dianggap baik sekarang, belum tentu baik di masa yang akan datang dan sebaliknya.

Dalam hal ini, penulis mencoba mendekati permasalahan tersebut dengan kaidah fiqih “alhukmu yaduru ma’a illatin wujudan wa’adaman” yang memberikan pengertian bahwa hukum itu selulu diiringi dengan alasan (‘illat) atau sebab musabab. Termasuk dalam permasalahan khitan untuk perempuan, yang bisa dikatagorikan masalah ta’akuli dimana kedudukannya dapat dilihat dari dimensi sosialnya dengan cara meneliti aspek sejarah maupun perkembangan keilmuan.

Kebiasaan khitan sebenarnya telah lama berlaku, mulai dari sebelum masehi, zaman Nabi Ibrahim sampai sekarang. Dalam hal khitan laki-laki semua setuju bahwa dapat mendatangkan kemanfaataan, sehingga hukumnya dapat mengikuti ketentuan tersebut. Adapun untuk perempuan masih dipertanyakan, hal ini tidak lepas dari hadits Nabi yang menyatakan Makrumah bagi perempuan.

Jika hadis tersebut ditelisik lebih dalam, perlu kiranya pandangan holistik realista sosial pada masa itu. Adanya kata “potonglah sedikit saja” dalam hadist nabi di atas, maka dapat diprediksikan bahwa tradisi khitan bagi perempuan telah ada pada masa sebelum itu, dengan cara memotong klitoris perempuan secara penuh. Oleh karenanya Nabi mencoba meminimalisir hal tersebut, tentunya tidak dengan kata-kata yang menunjukan langsung, aka tetapi dengan kata makrumah. Proses transformasi gradual seperti itu sebenarnya talah dipraktekan nabi untuk kasus-kasus yang lain sebagaimana pengharaman khamer yang dilakukan secara bertahap.

Lain dari itu, kalimat dalam hadis yang berbunyi “karena ia (klitoris) sangat menyenangkan (perempuan)” menunjukan bahwa klitoris mempunyai peranan penting dalam seksualitas perempuan. Maka himbauan Nabi untuk memotong sedikit saja merupakan bahasa persuasif yang harus dimengerti secara mendalam, yang pada dasarnya praktek seperti itu harus dihentikan.

Dengan menggunakan pendekatan maqhosidussyari’ah, yaitu berkaitan dengan khifdzunnasl, maka khitan perempuan harus dibuktikan secara medis. Apalagi jika kegiatan tersebut justeru mendatangkan kemadaratan daripada kemaslahatan, tentunya kita tahu harus bagaimana?

Terkait hal tersebut, permasalahan mashlahah dalam khitan perempuan memang sangat bergantung dari ketentuan medis dan pandangan masyarakat umum. Sebagai contoh, khitan bagi perempuan adalah bagian dari penegakan moral, karena ada prediksi masyarakat bahwa perempuan akan menjadi liar (nakal) apabila tidak dilakukan khitan. Masalah ini harus dibuktikan secara empirik, karena pada dasarnya tidak ada kaitan antara khitan dan kenakalan perempuan.

Konteks sosial seperti itu, sebenarnya merupakan warian budaya patriarki, dimana laki-laki harus di atas perempuan dalam segala hal. Sehingga, berbagai cara akan dilakukan untuk tujuan tersebut termasuk dalam masalah seksuaitas dengan memotong, melukai, menggores atau apaun namanya. Wallahu’alam bisshowab.

1 komentar:

yayanmroyani mengatakan...

Bagaimanakan praktek khitan di negara-negara muslim?