Kamis, 22 Maret 2012

Hak Asasi Minoritas


“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama”. Penggalan dari pasal 18 Kovenan Kebebasan Hak Sipil dan Politik ini menjadi landasan hukum kebebasan berkeyakinan bangsa Indonesia. Akan tetapi, Bagaikan api jauh dari panggang, ternyata Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM) hasil ratifikasi Hak Sipol Internasional belum dirasakan oleh seluruh warga Indonesia, khususnya kaum minoritas.
Sebagaimana dilaporkan Aliansi Masyarakat Adat (AMAN), bahwa pada awal tahun ajaran 2011, panitia pendaftaran menolak anak-anak sedulur sikep, Warga Samin Kudus menjadi siswa di SMP Negeri 2 Udaan Kudus, hanya karena mereka beragama Adam. Beruntung kepala sekolahnya masih memperbolehkan belajar di sana, meski mereka diwajibkan mengikuti mata pelajaran Agama Islam (PAI).<--more>
Mewakili nasib para penghayat lainnya, kasus tersebut langsung mendapatkan respon dari pemerintah. Gendro Nurhadi selaku Direktur Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (05/03/12), menyatakan bahwa tindakan sekolah tersebut bukan tanpa alasan, menurutnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) memang mengatur ketentuan setiap peserta didik harus mendapatkan pelajaran agama sesuai agamanya. Yaitu terdapat pada pasal 12 ayat (1) yang berbunyi “Setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Menurut Gendro, masalahnya, sebagaimana penganut kepercayaan lainnya, Warga Samin tidak menganggap ajarannya sebagai agama, akan tetapi kepercayaan.
Permasalahan Yuridis
Kemendikbud telah memaknai agama sebagai institusi resmi yang diakui negara, sedangkan kepercayaan lebih dikatagorikan adat istiadat dan budaya, bukan agama. Jika faktanya demikian, maka dapat menimbulkan permasalahan yuridis, dimana Undang-Undang Sisdiknas tidak dapat berjalan seirama dengan undang-undang di atasnya, ataupun undang-undang lain yang berlaku. Padahal, harmonisasi antar peraturan mutlak diperlukan, mengingat sistem hukum Indonesia yang positivistik hirarkis dan integral.
Jika pemaknaan agama dalam UU Sisdiknas dipisahkan dengan kepercayaan, maka akan terjadi kontradiksi. Pertama, pemaknaan terebut tidak sesuai dengan substansi Kovenan Sipol yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang HAM, dimana agama selalu disandingkan dengan kepercayaan yang berarti keduanya mempunyai kedudukan yang sama yaitu termasuk hak asasi manusia. Oleh sebab itu, apabila pihak sekolah tetap mengharuskan Warga Samin mengkuti Pendidikan Agama Islam (PAI) yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka, maka tindakan tersebut bisa dikatagorikan pelanggaran HAM.
Kedua, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dimana pada pasal 28E ayat (2) berbunyi” Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”. Pasal ini sekaligus menjelaskan ketentuan pasal sebelumnya yang menyatakan bahwa setiap pemeluk agama berhak atas pendidikan dan pengajaran sesuai agamanya. Lebih dari itu, bertentangan dengan UU Sisdiknas itu sendiri, yaitu pada pasal 11 ayat (1) yang menyatakan bahwa pemerintah menjamin pendidikan setiap warga negaranya tanpa diskriminatif.
Ketiga, bertentangan dengan keadilan masyarakat Indonesia secara umum, dimana setiap warga negara berhak atas perlakuan yang adil sesuai dengan pancasila. Ironis memang, dimana Warga Samin sebagai warga Negara Indonesia yang ikut memperjuangkan kemerdakaan dan memenuhi kewajibannya, harus mendapatkan perlakuan yang berbeda. Alih-alih pemerintah berkewajiban melindungi, justru sebaliknya mempersulit mereka dengan tidak membolehkan mencantumkan agamanya dalam KTP sampai berlaku diskriminatif dalam bidang pendidikan.
Merubah Paradigma
Dalam hal menghadapi masalah HAM, seharusnya pemerintah memperhatikan perannya sebagai pemangku tanggung jawab dengan tiga sikap. Pertama, kewajiban untuk menghormati, yang biasa disebut dengan kewajiban negatif yang menghendaki tindak omisi, yaitu keharusan negara untuk tidak ikut campur atau abstein terhadap dinikmatinya hak-hak atau kebebasan tetentu, termasuk diantaranya masalah moral dan agama. Kewajiban ini juga mencakup larangan terhadap negara untuk melakukan tindakan-tindakan yang dilarang oleh masyarakat internasioanal seperti penyikasaan, perbudakan penahanan dan penangkapan dengan sewenang-wenang.
Kedua, kewajiban melindungi, berarti negara harus melindungi semua individu dan kelompok masyarakat disaat kebebasan mereka dilanggar oleh pihak lain. Kewajiban melindungi juga berkaitan dengan pencegahan tindakan yang memungkinkan dilanggarnya hak atau diabaikannya hak-hak tertentu. Adapun yang menjadi objek biasanya adalah klompok-kelompok minoritas yang rentan terhadap diskriminasi.
Ketiga, kewajiban memenuhi atau memfasilitasi, dalam hal ini terkait dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya seperti hak pendidikan, pekerjaan, pangan, air bersih atau perumahan dan lain sebagainya. Oleh sebaba itu, kewajiban negara terhadap hak ini adalah untuk memenuhinya, bisa secara langsung ataupun bertahap, yang lazimnya menggunakan perencanaan.
Maka, untuk meminimalisir resiko pelanggaran HAM, perubahan paradigma pemerintah yang positivistik menjadi kontekstual dan sosiologis sangat diperlukan. Dalam kasus ini, dengan cara mengajak dialog para pihak terkait untuk mencapai persetujuan bersama, dan tidak menggunakan pendekatan undang-undang yang justru ditafsirkan salah.
Jika tidak terjadi dialog, maka pendekatan sosiologis ini dapat direalisasikan secara langsung, diantaranya dengan memberdayaan tokoh dan sesepuh adat sebagai pengajar agama bagi para penghayat. Rencana tersebut bisa juga menjadi jawaban terhadap kendala yang dihadapi sekolah-sekolah selama ini, yaitu kesulitan mendapatkan pengajar bagi para penghayat.
Lain dari itu, rencana di atas dapat mendatangkan beberapa keuntungan sekaligus bagi pemerintah, yaitu menjadi simbol tindakan kongkrit kepedulian pemerintah terhadap kaum minoritas serta menjalin kerjasama dalam pendidikan moral yang efektif bagi siswa didik. Sekaligus menjadi upaya dalam melestarikan budaya luhur bangsa Indonesia.
Di lain pihak, pemerintah memang berencana mengintruksikan pihak sekolah untuk mengajak berunding para tokoh dan sesepuh adat, akan tetapi selama paradigma mereka belum berubah, maka rencana tinggallah rencana.
Akhirnya, pemerintah seharunya sadar, bahwa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa sejak berdirinya. Oleh karenanya, sebuah keharusan untuk menjaga kebhinekaan tersebut, bukan sebaliknya, bersikap diskriminatif dan intoleran terhadap perbedaan.

Khitan Perempuan dalam Islam

Tinjauan al Quran dan hadist

Pada umumnya, ayat yang digunakan untuk melegalkan khitan bagi perempuan adalah surat an-Nahl ayat 123 yang berbunyi “Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. Sesuai dengan ayat ini, seluruh bentuk ritual yang dilakukan Nabi Ibrahim harus di ikuti oleh Nabi Muhammad Saw, tanpa terkecuali khitan yang tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan.

Pendapat di atas ternyata ditentang oleh sebagian besar para ulama ahli tafsir yang menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berkaitan dengan khitan, akan tetapi berkenaan dengan masalah-masalah pokok agama. Sebagaimana pendapat al Qurtubi (w. 671 H), bahwa ayat tersebut berkaitan dengan ketauhidan dan manasik haji. Begitupun menurut at Thobari (w. 923 M) bahwa ayat tersebut terkait dengan perintah Allah Swt kepada Nabi Muhammad untuk membebaskan diri dari penyembahan berhala.

Oleh karenanya, menurut Yusuf al Qardlawy, bahwa ulama yang menyatakan ayat ini berhubungan dengan khitan adalah mengada-ada. Karena ayat tersebut fokus terhadap ketentuan mengesakan Allah Swt, yaitu menjalankan dakwah ketauhidan dan menjauhi segala bentuk kemusyrikan. Lebih dari itu, hemat penulis, pemaknaan millah Ibrahim terhadap kekhususan kasus khitan untuk perempuan merupakan penafsiran yang positivistik dan menjenarilisir pemaknaan.

Dari tinjauan hadist, maka ditemukan dua hadits yang berkaitan dengan khitan bagi perempuan. Hadits pertama dari Ummi ‘Athiyyah al Anshariyah: ”Bahwa ada seorang perempuan juru khitan para perempuan di Madinah. Nabi Saw mengatakan kepadanya "Jangan berlebihan, karena ia (bagian yang dipotong) menyenangkan bagi perempuan (isteri) dan paling disukai suami. Pada riwayat lain Nabi mengatakan "potong ujungnya saja dan jangan berlebihan, karena ia sangat menyenangkan dan bagian yang disukai suami". (HR. Abu Daud).

Dari tinjauan sanad, hadis tersebut tidak hanya diriwayatkan oleh Abu Daud, akan tetapi oleh Imam Ahmad dan Imam al baihaqi. Menurut ahli hadits Zain al Din al Iraqi hadits tersebut lemah, bahkan Abu Daud sendiri menyatakan bahwa hadis tersebut lemah (tidak kuat). Hal itu karena Muhammad bin Hasan salah saeorang perawi hadis ini tidak dikenal (majhul).

Kedua, Hadits disampaikan Abu Hurairah “Nabi berkata:”Khitan adalah sunnah bagi laki-laki dan suatu kehormatan bagi perempuan”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqi. Menurut Imam al Syaukani hadits ini dha’if (lemah, tidak valid), karena Hajjaj bin Artha’ah, perawinya, seorang mudallas, yakni sering mengelirukan riwayat hadits. Para ahli hadits dan ahli fiqh mengatakan hadits yang disampaikan seorang mudallas tidak dapat diterima sama sekali yakni tidak dapat dijadikan argument hukum.

Tinjuan Fiqih

Perihal masalah khitan bagi perempuan, para ulama madzhab berbeda pendapat. Menurut masyoritas pengikut madzhab Hanafi dan Malaiki, khitan untuk laki-laki hukumnya sunnah muakkad sedangkan untuk perempuan hukumnya penghormatan, yaitu menggoreskan sedikit di atas klitoris dan disunnahkan tidak berlebihan supaya istri tetap merasakan kenikmatan. Sedangkan mayoritas pengikut Syafi’I mewajibkan khitan bagi laki-laki maupun perempuan. Meskipun begitu, tidak semua pengikut Syafi’i setuju, karena sebagian ada yang berpendapat bahwa hal tersebut tidak wajib. Adapun pendapat Imam Ahamad, khitan untuk laki-laki wajib sedangkan untuk perempuan merupakan penghormatan.

Dari perbedaan pendapat di atas, mayoritas ulama tidak sampai mewajibkan khitan untuk perempuan. Lebih dari itu, makna penghormatan dalam hadis yang dijadikan landasan hukum sangat multi tafsir, karena Kata Makrumah bukanlah kata yang biasa dipakai untuk landasan hukum dalam fiqih tidak seperti wajib atau haram, olah karenanya sebagian ulama berbeda pendapat, ada yang memaknai sunnah bahkan mubah.

Dalam menjelaskan kata Makrumah (penghormatan pada perempuan), Yusuf al Qordlawy menjelaskan, bahwa kata tersebut merujuk kepada perbuatan yang dianggap baik dalam praktek masyarakat. Oleh karenanya ketentuan tersebut sangat relatif, yaitu bisa berubah-ubah. Kebiasaan yang dianggap baik sekarang, belum tentu baik di masa yang akan datang dan sebaliknya.

Dalam hal ini, penulis mencoba mendekati permasalahan tersebut dengan kaidah fiqih “alhukmu yaduru ma’a illatin wujudan wa’adaman” yang memberikan pengertian bahwa hukum itu selulu diiringi dengan alasan (‘illat) atau sebab musabab. Termasuk dalam permasalahan khitan untuk perempuan, yang bisa dikatagorikan masalah ta’akuli dimana kedudukannya dapat dilihat dari dimensi sosialnya dengan cara meneliti aspek sejarah maupun perkembangan keilmuan.

Kebiasaan khitan sebenarnya telah lama berlaku, mulai dari sebelum masehi, zaman Nabi Ibrahim sampai sekarang. Dalam hal khitan laki-laki semua setuju bahwa dapat mendatangkan kemanfaataan, sehingga hukumnya dapat mengikuti ketentuan tersebut. Adapun untuk perempuan masih dipertanyakan, hal ini tidak lepas dari hadits Nabi yang menyatakan Makrumah bagi perempuan.

Jika hadis tersebut ditelisik lebih dalam, perlu kiranya pandangan holistik realista sosial pada masa itu. Adanya kata “potonglah sedikit saja” dalam hadist nabi di atas, maka dapat diprediksikan bahwa tradisi khitan bagi perempuan telah ada pada masa sebelum itu, dengan cara memotong klitoris perempuan secara penuh. Oleh karenanya Nabi mencoba meminimalisir hal tersebut, tentunya tidak dengan kata-kata yang menunjukan langsung, aka tetapi dengan kata makrumah. Proses transformasi gradual seperti itu sebenarnya talah dipraktekan nabi untuk kasus-kasus yang lain sebagaimana pengharaman khamer yang dilakukan secara bertahap.

Lain dari itu, kalimat dalam hadis yang berbunyi “karena ia (klitoris) sangat menyenangkan (perempuan)” menunjukan bahwa klitoris mempunyai peranan penting dalam seksualitas perempuan. Maka himbauan Nabi untuk memotong sedikit saja merupakan bahasa persuasif yang harus dimengerti secara mendalam, yang pada dasarnya praktek seperti itu harus dihentikan.

Dengan menggunakan pendekatan maqhosidussyari’ah, yaitu berkaitan dengan khifdzunnasl, maka khitan perempuan harus dibuktikan secara medis. Apalagi jika kegiatan tersebut justeru mendatangkan kemadaratan daripada kemaslahatan, tentunya kita tahu harus bagaimana?

Terkait hal tersebut, permasalahan mashlahah dalam khitan perempuan memang sangat bergantung dari ketentuan medis dan pandangan masyarakat umum. Sebagai contoh, khitan bagi perempuan adalah bagian dari penegakan moral, karena ada prediksi masyarakat bahwa perempuan akan menjadi liar (nakal) apabila tidak dilakukan khitan. Masalah ini harus dibuktikan secara empirik, karena pada dasarnya tidak ada kaitan antara khitan dan kenakalan perempuan.

Konteks sosial seperti itu, sebenarnya merupakan warian budaya patriarki, dimana laki-laki harus di atas perempuan dalam segala hal. Sehingga, berbagai cara akan dilakukan untuk tujuan tersebut termasuk dalam masalah seksuaitas dengan memotong, melukai, menggores atau apaun namanya. Wallahu’alam bisshowab.

Memaknai Kirab Budaya

Apa yang telah dilakukan oleh Joko Widodo (Jokowi) memang pantas di apresiasi. Maraknya momen kirab budaya yang diadakan oleh Pemkot Solo telah membawa angin kebijaksanaan bagi paradigma masyarakat Solo. Lihat saja, ketika Solo ditimpa isu terorisme, kirab budaya telah meredam kerisauan warga Solo, bahkan karenanya, isu tersebut tidak mempengaruhi tamu kehormatan luar negeri untuk berkumpul di Solo, sampai ketika ada momen pembangunan super market (Mall), kirab budaya menyelamatkan pasar tradisional yang menjadi identitas warga Solo.

Rasa memiliki budaya adalah kunci dari keberhasilan warga Solo. Dengan identitas ini, warga Solo bangga akan adat istiadat dan daerahnya, sehingga mereka merespon positif semua kegiatan kebudayaan termasuk kirab budaya. Secara tidak langsung, kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut telah menumbuhkan rasa kejawaan (kejawen) yang mengharuskan mereka menjadi orang yang sopan, santun, lemah lembut, gotong royang dan menghargai sesama. Tidak bisa dipungkiri, justeru dengan adat istiadat seperti itulah mereka eksis ditengah serangan radikalisme dan kapitalisme.

Perlu dicontoh oleh kepala daerah lainnya, yaitu dengan menjadikan budaya lokal sebagai kekuatan dalam menghadapi perasingan global dan meredam konflik internal. Tidak hanya sebagai karya seni yang telah lapuk dimakan zaman, Jokowi menghidupkan kembali budaya sebagai pijakan nilai luhur para nenek moyang yang perlu digali dan diamalkan, yaitu ritual mengembalikan nilai keseimbangan antara hubungan manusia dengan tuhan dan manusia dengan alam.

Di tengah arus globalisasai, dimana masyarakat indonesia telah kehilangan jati diri sebagai warga negara yang berbudaya, kirab budaya dapat menjadi alternatif pragmatis sebagai obat penyembuh amnesia tersebut. Lain dari itu, Sebagaimana pepatah jawa “alon-alon asal kelakon” telah memberikan inspirasi untuk menjadikan kirab budaya sebagai langkah awal membentengi budaya nasional, yaitu menyusup dalam maraknya budaya populer, hedonis dan kapitalis.

Meminjam istilah Samuel Huntington, bahwa saat ini Indonesia berada dalam area perang peradaban. Disaat Barat dan Timur tengah berebut pengaruh, Indonesia sebagai negara dunia ketiga menjadi objek bancaan mereka. Dengan kekayaan alam yang berlimpah, mereka ingin menancapkan pengaruhnya di negeri kita tercinta. Berbeda dengan cara kuno (invasi militer), mereka menjadikan peradaban sebagai alat untuk menjajah dan menguasi. Menurutnya, peradaban sendiri mencakup teritorial sebuah negara, atau warga negara (civilization), dimana salah satu unsurnya adalah budaya, yang sekaligus menjadi akar kehidupan sebuah peradaban.

Jika budaya diartikan sebagai simbol, maka kirab budaya telah menjadi bagian terpenting dari peradaban. Simbol budaya ini, diharapkan dapat memberikan makna lebih dalam yaitu way of life. Tidak seperti ritual-ritual budaya lainnya, kirab budaya dapat dengan efisien mempengaruhi masyarakat tanpa harus minder jika dianggap kuno dan tidak zamani, karena disamping mempunyai nilai seni, kirab juga memberikan nuansa intertainment yang digandrungi masyarakat saat ini. Lain dari itu, kegiatan ini sangat memungkinkan untuk diadakan setiap daerah dengan sesuai kebutuhan dan bentuk budaya setempat.

Apabila ini terus dipertahankan, tentu hasilnya tidak hanya Kota Solo yang berseri dan berbudaya, lebih dari itu akan mucul identitas peradaban nusantara. Maka untuk mewujudkannya, dibutuhkan keterlibatan dan peran daerah-daerah lain, yaitu dengan melestarikan warisan budayanya. Setiap daerah di Indonesia diharapkan dapat menampilkan wajah budayanya di depan publik, caranya dengan memperbanyak kegiatan kebudayaan. Kita tahu bahwa setiap daerah di Indonesia mempunyai ciri khasnya masing-masing, mulai dari Aceh dengan Tarian Saman Meuseukat sampai Irian Jaya dengan Tari Musyohnya, dimana semua itu dapat menjadi modal untuk di eksibisi.

Efek Sosial Kirab Budaya

Sebagai percontohan, kirab budaya Kota Solo telah memberikan efek positif terhadap kehidupan sosial warganya, sekaligus menjadi sarana dalam menumbuhkan nilai-nilai lokal (local wisdom) kota ini. Pada saat kirab, seluruh warga tumpah ruah tanpa memandang siapa dan dari mana. Fenomena ini mengindikasikan nilai toleransi yang tinggi sekaligus kesadaran akan persatuan dan kesatuan atas nama budaya Solo. Tidak mengherankan apabila kirab budaya selalu dijadikan alat perekat kebersamaan masyarakat Solo.

Sebagai usaha melanggengkan kegiatan ini, untuk tahun 2012 Jokowi telah mengagendakan kurang lebih 48 kegiatan kebudayaa. Dengan maraknya kegiatan tersebut, Jokowi ingin menunjukan bahwa Solo dapat menjadi trend setter budaya nasional, sekaligus menjadikan budaya sebagai sarana menumbuhkan rasa nasionalisme.

Lain dari itu, di Kota Solo, budaya tidak hanya befungsi sebagai perisai dari serangan faham luar negeri, akan tetapi sekaligus dijadikan alat pemersatu. Fenomena real di Solo, menurut Badan Pusat Statistika Kota Solo tahun 2010, penduduk daerah ini berjumlah 499.337 jiwa. Dari sumber lain, penduduk Kota Solo terbagi dari 400 ribu orang beragama Islam, 74 ribu beragama Katolik, 77 ribu beragama Kristen, 4 ribu beragama Budha, 100 orang beragama Hindu dan 80 agama kepercayaan. Dari data tersebut menunjukan bahwa Kota Solo sangat beragam, akan tetapi dengan dasar kesamaan budaya, ternyata penduduk Kota Solo dapat hidup berdampingan dengan harmonis.

Perlu kita sadari, bahwa fenomena perpecahan masyarakat Indonesia saat ini lebih banyak disebabkan oleh perbedaan agama dan keyakinan daripada adat istiadat dan kebudayaan. Sehingga budaya bisa dijadikan jalan alternatif untuk meminimalisir perpecahan tersebut.

Sebagaimana Kota Solo, Negara Indonesia pun dapat bercermin atas keberhasilan Kota ini, Yaitu dengan cara mendukung berkembangnya budaya daerah. Berbagai usaha dapat dilakukan diantaranya dengan kirab budaya nasional. Usaha tersebut sekaligus sebagai upaya menumbuhkan rasa nasionalisme, karena dengan mencintai budayanya, maka seseorang sekaligus mencintai bangsanya. Akhirnya, perlu keterlibaan semua pihak dalam menumbuhkan budaya nasional, mulai dengan menghargai budaya leluhur sampai menumbuhkan terhadap kesadaran berbangsa dan bernegara.



Sabtu, 26 November 2011

Rahasia Makan

Hanya berbagi pengalaman untuk teman-teman, sepintas kegiatan makan tidaklah penting untuk dibahas, karena makan telah menjadi kebiasaan sehari-hari bahkan semenjak dalam kandungan. Semua orang tau apa itu makan, tanpa dajaripun dia pasti butuh makan. Hanya saja, dibalik insting dasar manusia terdapat resiko kebaikan dan keburukan. Bukankah adanya hukum sebagai nafigator untuk meluruskan insting manusia tersebut.
Tidak mengherankan apabila Rasul memberikan arahan (rambu-rambu) terkait kegiatan makan. Diantaranya, makanlah kamu diawali dengan berdoa, dalam hal ini sangat jelas bahwa makan tidak sekedar melampiaskan nafsu. Lebih dari itu ada dimensi ilahiyah yang dapat ditafsirkan dari berbagai sudut pandang. Diantaranya, makan harus karena Allah, dalam artian kegiatan makan untuk mengembalikan kekuatan dalam menjalankan ibadah.
Disamping itu, makan harus dari rizki yang halal, karena dalam doa yang dipanjatkan kita meminta keberkahan rizki, selain itu kita meminta untuk dijauhkan dari siksa api neraka dengan maksud kekuatan yang dikembalikan lewat sari makanan diperguganakan untuk kebaikan. Dari tujuan makan karena Allah, masih banyak nilai moral lain yang dapat diambil hikmahnya, diantanya adalah menghindarkan diri dari ketamakan dan sifat lain akibat buruknya makanan yang kita makan. Ingatlah bahwa seburuk-buruknya tempat adalah perut.
Rasul mengajarkan kita untuk berhenti makan sebelum kenyang, ini mempunyai arti bahwa keyang dapat menyebabkan berbagai efek negative, diantaranya lemah, lesu dan malas kerena pencernaan mendapatkan beban yang berelebih. Perlu diketahui, apabila usus selalu diisi dengan kapasitas full maka semakin besarlah kapasitasnya untuk menampung makanan, akibatnya semakin banyaklah makanan yang harus dimakan. Dalam hal ini, dampak ekonomis menjadi berperan secara signifikan.
Kenyang termasuk dari nafsu yang harus dipenuhi, oleh karenanya menahan diri supaya tidak kenyang termasuk menahan nafsu yang dapat menghilangkan logika. Berlatih sabar dengan makan dapat memberikan efek bagi kesabaran-kesabaran yang lain. Focus logika dalam makan adalah menikmati rasa makanan, bukan tujuannya yaitu kenyang, sehingga dapat diambil hikmah bahwa dalam kehidupan fokuskanlah pada usaha bukan hasil. Perlu diperhatikan dalam praktek menikmati makanan adalah kelezatan yang relative, dalam hal ini sugesti dengan rasa syukur diperlukan ketika kita makan makanan yang tidak enak.
Rasul mengajarkan kita untuk mengunyah makanan sebanyak dua puluh delapan kali, tidak sekedar untuk kesehatan pencernaan berupa halusnya makanan yang dicerna parut, lebih dari itu sikap (mental) hati-hati (teliti) dan tidak terburu-buru menjadi alasan pentingnya mengunyah makan dengan maksimal. Sebagimana dilansir yahoo, bahwa makan dengan cara cepat dapat menjadi penyebab kegemukan badan, alasannya karena otak tidak secara selaras merespon kinerja mulut dan lambung, akibatnya seseorang akan merasa lapar terus.
Meskipun begitu sebagian orang menggap bahwa makan cepat identik dengan sikap yang serba cekatan dan cepat pula, sehingga mempunyai dampak positif. Terkait hal tersebut tergantung dari sudut pandang masing-masing individu. Yang perlu diperhatikan, dalam berbagai riwayat dikatakan bahwa terburu buru dalam menyelesaikan masalah tanpa pertimbangan akal budi tidak diperkenankan. Apalagi yang menjadi rujukan adalah gaya makan, yang dalam prakteknya berhubungan dengan rasa bukan logika.

Minggu, 02 Oktober 2011

Just Do It…

Sebuah kata yang mudah diucakan tetapi sulit untuk dilaksanakan. Bukankah sebuah kesalahan itu dikarenakan sengaja melanggar aturan dengan kesadaran. Itulah kehidupan, semuanya harus dihadapi sebagai aturan, maka akankah kita selalu berada pada jalan yang lurus atau sebaliknya. Ada benarnya ungkapan istiqomah lebih baik dari seribu karomah.
Beberapa faktor yag menyebabkan tidak terlaksananya sebuah pekerjaan, dapat diklasifikasi dalam dua faktor dasar yaitu eksternal dan internal. Faktor internal lebih menitikberatkan kepada faktor psikologis, sebagai manusia yang mempunyai naluri besar untuk selalu bersenang-senang, bersantai dan tidak ingin bekerja keras, menjadi rintangan untuk tidak melaksanakan sesuatu.
Naluri ini terkait dengan asal usul manusia yang dalam konteks basyariah nya adalah buruk, dapat dilihat dalam ayat al Quran (yaitu dialog antara Allah Swt dengan malaikat, bahwa banusia terdahulu sering melakukan kerusakan di muka bumi. Jika dianalogikan dengan teori evolusi darwin, maka tidak mengherankan apabila naluri kesenangan manusia setingkat dengan binatang. Meskipun begitu, teori darwin ini sangat ditentang para teologi agama.
Merupaka sekenario dari tuhan, adanya kebaikan dan keburukan (meskipun semua itu dari tuhan juga). Oleh sebab itu, asal muasal manusia yang buruk (nurani hedonis) diatur oleh peraturan undang-undang yang dalam keyakinan umat beragama disebut kitab suci. dalam al Quran jelas diterangkan ”apabila kamu telah selesai mengerjakan sesuatu maka kerjakanlah pekerjaan yang lain”, maka tidak ada alasan bagi kita untuk bermalas malasan. Life is moving.
Adapun faktor eksternal meliputi seluruh aspek diluar diri (jiwa psikologis) manusia yang menjadi enghalang untuk mengerjakan sesuatu. Sebagai contoh kesehatan, adanya larangan dan fenomena lain yang menghalangi untuk melakukan sesuatu. Maka oleh sebab dari itu, just do it, dont be lazy couse life is moving…

Relatifitas Hukum

Relatifitas Hukum
Berawal dari diskusi kecil antara senior dan junior. Senior, ”dek pada dasarnya manusia itu buruk lho”. Karena junior baru ikut talk shaw agama konghucu (meskipun tidak beragama itu) maka dia berkata, ”kata Nabi Kongzi manusia itu tadinya baik lho”. Lalu diskusi berkembang kepada permasalahan yang sebelumnya telah dibahas, yaitu tentang aturan atau hukum yang berlaku sebagai alat untuk menekan ego manusia yang tadinya buruk.
Junior, ”lho bagaimana bisa menjadi sebagai alat penekan ego?”. Menurut Junior hal tersebut tidak benar, karena ada hukum yang berlaku untuk melindungi dari kebiasaan sebuah kelompok masyarakat. Sehingga tidak menekan ego, akan tetapi melindungi ego (keinginan naluri) tersebut. dalam hal ini, hukum bertujuan untuk sebuah kebahagiaan, maka menurutnya lahirlah namanya aliran hedonisme.
Pendapatnya tersebut bukan berarti tanpa dasar, karena menurut pengetahuannya, aturan dibuat dengan berbagai tujuan, diantaranya sebagai alat paksa dan perubah (sosial enginering), lainnya sebagai pelindung dari apa yang telah berlaku pada diri masyarakat itu sendiri. Sehingga aturan (hukum) dapat dapat bersifat fositif aupun negatif.
Jika diperdalam, pada dasarnya pemasalahan ini bermula dari ambiguitas penegertian antara norma, moral dan nilai (jika ingin mendasari bahwa hukum berasal dari hal tersebut). Menurut Senior, bahwa aturan yang berlaku pada masarakat menjadi titik tolak nilai kebaikan yang diakui. Alasannya jelas bahwa ego itu ditekan oleh norma dan aturan dalam masyarakat, sehingga norma dan aturan menjadi super hero. Berbeda dengan si junior, menurutnya tidak semua norma yang diberlakukan itu mempunyai sifat kebaikan (nilai baik), yaitu apabila norma tersebut diartikan sebagai peraturan. Dalam hal ini, mungkin dia masih meyakini akan adanya kebenaran yang relatif.
Untuk memperjelas masalah definisi norma, moral dan nilai, maka junior mencoba mengingat kembali pengetahuan hasil diskusinya bersama teman-teman sekelasnya. Si A berkata ”moral adalah kumpulan dari norma-norma dan nilai”. Si B berkata ”itu terbalik, yang benar bahwa norma adalah kumpulan dari moral-moral dan nilai” dia beralasan bahwa, seorang dapat menentukan sesuatu itu baik harus didasarkan pada penilaian subjektif (personal) akan kebaikan yang diyakininya. dia sendiri setuju dengan pendapatnya Imanuel Khan.
Si A menambahi dengan sebuah referensi ”norma itu adalah nilai-nilai yang ada pada diri masing-masing, ketika itu sudah disepakati maka itu disebut dengan moral”. Karena dia memakai referensi, akhirnya ditetapkan definisi tersebut. jika ditelusuri, dapat dilihat bahwa nilai baik dan baruk menjadi bahan dasar terjadinya norma dan moral. Dari sanalah muncul aturan yang bertujuan untuk menegakan kebaikan dan menghukum kejahatan. Jika melihat realitanya, memang hukum itu tidak bebas nilai, yang berarti si Senior dianggap benar (meskipun debatebel).
Dari diskusi sekarang menjadi debat. Pada saat ini, permasalahan fokus pada pemberlakuan hukum itu sendiri. Menurut junior (masih ngotot) bahwa dari adanya berbagai tujuan hukum seperti keadilan, kepastian dan kemanfaatan, menunjukan bahwa hukum itu reltif dilihat dari siapa yang membuat. Bisa jadi orang yang membuat aturan tidak untuk sebuah kebaikan, akan tetapi untuk tujuan pribadi (egoisteis) sehingga aturan tersebut menjadi buruk dan bermasalah. Dalam hal ini, hukum (aturan) menjadi sebuah kejelekan tidak sebaliknya.
Senior ”wah kamu itu terlalu berfikir holistik, saat ini kita itu harus fokus terhadap realita permasalahan”. Menurutnya, teori-teori dari berbagai tokoh harus dijadikan sebagai pengantar dalam menjawab permaslahan. Untuk sementara pendapat tersebut diterima oleh junior. Sekaligus dia bertanya, ”lalu apa permaslahannya?”.
”Kita lihat kondisi Indonesia saat ini, meskipun telah banyak undang-undang ditelurkan, pada kenyataannya Indonesia belum merasakan perubahan yang signifikan, lalu apa gunanya pemerintah dan undang-undang tersebut”. menurutnya, aturan-aturan pemerintah justru mengikis kebaikan-kebaikan dari masyarakat itu sendiri, dengan alasan bahwa aturan tersebut tidak bersal dari bawah tetapi top down. Masih menurutnya, fenomena in semua dikarenakan Indonesia menjalankan sistem demokrasi yang tidak sempurna. ”kita bisa lihat, masa demokrasi harus kontra terhadap kapitalisme, dia menambahi bahwa dengan demokrasi, adanya struktur kasta dalam masyarakat adalah sebuah keneiscayaan”.
Permaslahan semakin melebar. Menanggapi hal tersebut Junior langsung memberikan sanggahan. ”maaf Senior, perlu kita ketahui bahwa asas Negara kita memang demokrasi, semenjak zaman Soekarno yang dimulai dengan sistem demokrasi terpimpin sampai saat ini dimana demokrasi tidak diketahui modelnya”. Dia (junior) menambahkan, bahwa dalam melihat permasalahan global, maka tidak harus ada dikotomi antar pengetahuan. Sebagai contoh adanya pembedaan antara demokrasi politik dan ekonomi.
Senior (dengan ngotot), ”tidak hanya dalam hal itu, pada dasarnya, orang indonesia belum siap untuk diadakan pemilu langsung”. Menurutnya masyarakt Indonesia masih bodoh-bodoh sehingga apabila memilihpun akan lebih banyak madarat dari pada maslahat. Meskipun begitu, Senior tidak serta merta setuju dengan bentuk perwakilan dan sebagainya. To be continue.